Tuesday, August 26, 2014

Rokok dan sepabola Indonesia

Rokok dan olahraga adalah dua hal yang jelas berbeda. Yang satu dapat mengolah tubuh, satunya lagi malah merusak. Uniknya, beberapa tahun ke belakang, di Indonesia, sering ditemukan produk rokok menjadi sponsor kegiatan olahraga.
 Sepakbola, bola basket, hingga bola biliar pun tak luput dari sponsor rokok. Sebenarnya, tidak ada yang salah karena kerjasama keduanya saling menguntungkan. Kegiatan olahraga menjadi dapat berlangsung karena bantuan dana. Sementara itu, produk rokok mendapatkan ruang untuk memasang iklan dan menjual produknya.
Dalam ajang bola basket, biasanya terdapat aturan bahwa penonton mestilah mereka yang berusia di atas 18 tahun dibuktikan dengan menunjukkan KTP. Begitu pula dalam bola biliar. Untuk kegiatan yang disiarkan langsung, mereka yang di bawah 18 tahun tidak boleh berada di jajaran penonton. Tapi ada yang unik dalam sepakbola. Beberapa tahun ke belakang, Liga Indonesia disponsori oleh produk rokok, tapi tidak ada larangan bagi anak-anak untuk masuk ke stadion.
Di stadion, asap dari pembakaran berbatang-batang rokok jamak ditemui dan mungkin saja tak sengaja terhirup. Ya, ini adalah hal yang jamak dan dianggap biasa. Toh, penjual rokoknya pun dibiarkan bebas berkeliling menjajakan dagangannya.
Artinya, di negeri ini tidak ada korelasi antara penonton olahraga dengan olahraga itu sendiri. Mereka menonton demi kesenangan dan kepuasan semata. Mereka tak perlu sehat untuk menyaksikan pertandingan. Bahkan, mereka mengotori paru-parunya sendiri kala menyaksikan pertandingan olahraga!
Ini yang mestinya menjadi perhatian besar bagi pengurus cabang olahraga, khususnya sepakbola. Mulai tahun ini, segala jenis sponsor dari produk rokok untuk kegiatan musik dan olahraga sudah dilarang. Banyak yang menjadi korban, salah satunya kegiatan musik jazz tahunan di Jakarta, yang tidak lagi digelar.
Para pengurus cabang olahraga mesti mulai memikirkan sumber dana selain dari rokok. Secara tidak langsung, hal ini memberikan manfaat tambahan: mengedukasi para penonton kegiatan olahraga untuk lebih menyayangi tubuhnya sendiri.
Saat final Liga Eropa dan Liga Champions Eropa, UEFA dengan tegas memberikan larangan rokok di dalam stadion. Hal ini menurut UEFA akan terus berlanjut di kompetisi resmi UEFA lainnya seperti Piala Eropa.
Beberapa pekan lalu, gelandang Arsenal, Jack Wilshere, tertangkap kamera tengah menghisap rokok. Ia pun menjadi bulan-bulanan kritik. Salah satunya dari manajer Chelsea, Jose Mourinho. Ia menganggap Wilshere bukanlah seorang pesepakbola yang layak dicontoh. Ia memberi panduan buruk bagi anak-anak yang mengidolakannya.
Melihat pendapat Mourinho dan media di Inggris, terlihat bahwa merokok di kalangan pesepakbola adalah hal yang tabu. Sebagai seorang panutan, mereka diharapkan tidak berperilaku buruk, salah satunya dengan tidak merokok.
Ada pandangan yang berbeda terhadap rokok, antara pendukung sepakbola di Indonesia, dengan dengan negara tempat industri sepakbola berkembang. Di tempat di mana industri sepakbola berkembang pesat, pesepakbola adalah role model bagi mereka yang mengidolakannya. Tapi di Indonesia, pesepakbola belum sampai pada tahap itu.
Jika pandangan ini bisa diubah dan pesepakbola Indonesia telah dianggap sebagai panutan, sungguh satu hal yang teramat istimewa jika mereka mampu memberi pengaruh baik bagi para fans. Salah satunya, tentu saja dengan mempropagandakan untuk melakukan pola hidup sehat.
Ketika masyarakat Indonesia tak lagi mengidolai rokok sebagai pegangan hidup, maka kehilangan pemasukan dari sponsor rokok tak akan menjadi masalah yang besar. Toh, tidak ada korelasi antara rokok dengan olahraga. Kegiatan olahraga sudah seharusnya disponsori oleh minuman kesehatan, susu berprotein, dan sponsor yang memang menunjang bagi pesepakbola. Ini bukan lagi masanya, sebuah liga atau klub disponsori oleh sesuatu yang bertentangan dengan tujuan olahraga, bir misalnya.
Semoga saja, perkembangan sepakbola Indonesia sudah mampu mencapai pada tahap tersebut. Pesepakbola bukan lagi sebagai seseorang yang miskin karena tidak digaji berbulan-bulan oleh klub. Tapi, ia dapat menjadi agen perubahan yang menjadi panutan bagi para penggemarnya. Sepakbola Indonesia mestilah diletakkan pada tingkat tertinggi dari sekadar hiburan. Sepakbola mesti kembali ke fitrah sebagai sarana mengolah raga agar terisi dengan hal yang positif.

Sumber : panditfootball

No comments:

Post a Comment