Tuesday, August 26, 2014

Presiden dan sepakbola Indonesia

Presiden dan Sepakbola Indonesia (1): Membangun Kejayaan Lewat Sebuah Stadion
Presiden pertama Indonesia, Sukarno, memberikan warisan terbesar bagi timnas Indonesia hingga saat ini. Warisan tersebut adalah stadion megah berkapasitas 80 ribu penonton bernama Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Stadion ini pernah menyandang sebagai stadion terbesar di Asia pada masa itu.
GBK menjadi kandang timnas Indonesia untuk melakoni laga internasional. Di sini pula menjadi tempat eksebisi tim-tim Eropa yang akan beruji tanding di Indonesia. Selain pertandingan, stadion GBK juga menjadi markas organisasi sepakbola Indonesia, PSSI.
GBK merupakan mimpi Sukarno sebagai bentuk pembangunan bangsa. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan sesuatu yang besar, yang dapat mengangkat martabat negeri ini di mata dunia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Sukarno berhasrat membangun stadion berbentuk oval dengan semua tribun saling terhubung. Bentuk stadion ini mirip Stadion Maracana namun memiliki atap yang saling bertemu. Di masa itu, konstruksi atap temu gelang adalah hal yang sulit untuk dilakukan.
Pembangunan sudah mulai dilakukan pada pertengahan 1958. Peletakan batu pertama oleh Soekarno baru dilakukan pada Februari 1960. Selama dua tahun, GBK pun rampung dan siap digunakan untuk Asian Games IV pada 1962.
Membuat stadion megah tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Setidaknya dana sebesar 12 juta dollar mesti disiapkan. Kedekatan Sukarno dengan negara-negara komunis seperti Uni Soviet, nyatanya berbuah manis. Ia mendapatkan kredit lunak untuk pembangunan GBK.
Awalnya, stadion ini mampu menampung 100 ribu penonton dan masih merupakan yang terbesar di Indonesia. Kini, kapasitas stadion berkurang karena penempatan kursi di beberapa sektor, serta dikurangi karena alasan keamanan.
Di masa Sukarno, stadion ini juga kerap dijadikan sebagai tempat untuk berorasi Sang Proklamator.
Selepas dipaksa turun sebagai presiden, GBK pun berubah nasib. Di masa Orde Baru, stadion ini sempat berganti nama menjadi Stadion Utama Senayan. Banyak yang menganggap ini dalam rangka de-soekarnoisasi agar pengaruh Soekarno tidak terlalu besar di masa tersebut.
Ketika reformasi bergulir, pemerintah akhirnya mengembalikan nama Stadion Utama Senayan menjadi Stadion Utama Gelora Bung Karno. GBK menjadi saksi kala timnas Indonesia berhasil meraih medali emas Sea Games 1987. Ini merupakan prestasi pertama yang bisa diraih timnas Indonesia di level internasional.
Stadion ini merupakan bentuk dukungan Sukarno untuk memajukan sepakbola Indonesia. Ia dengan sadar mengetahui bahwa sepakbola mampu untuk menyatukan warga Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Meski kini telah tiada, tapi gelora semangat Sukarno terepresentasikan lewat sebuah stadion megah yang dinamai persis seperti nama dirinya: Stadion Gelora Bung Karno.
2, Kegigihan Soekarno dan mimpi macan asia 
Meski baru 17 tahun diproklamirkan sebagai negara merdeka, Indonesia telah berhasil menyelenggarakan Asian Games ke IV pada 1962. Di cabang olahraga sepakbola, Indonesia menjadi tim yang disegani di Asia.
Pada 1956, tim sepakbola Indonesia memastikan diri tampil di Olimpiade Melbourne. Di ajang ini, lawan-lawan kuat seperti Jerman Timur dan Uni Soviet turut berlaga. Malang bagi Indonesia, karena di babak perempat final mereka mesti bertemu Uni Soviet.
Menurut kabar saat itu, Presiden Sukarno kerap memberikan semangat bagi para pemain untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Hasilnya, Indonesia berhasil menahan imbang Uni Soviet tanpa gol.
Saat itu, belum jamak babak tambahan maupun adu tendangan penalti. Sehingga, pertandingan mesti diulang. Dalam partai ulangan ini, Indonesia kalah 0-4. Tapi keberhasilan menahan Uni Soviet merupakan prestasi yang dianggap luar biasa karena saat itu, Uni Soviet merupakan salah satu tim kuat di dunia.
Sukarno pun berperan penting bagi perjalanan timnas Indonesia untuk melakoni pertandingan internasional.
Pada 1958 Indonesia bermain di babak kualifikasi Piala Dunia. Hasil baik terjadi setelah Indonesia berhasil mengalahkan China pada babak pertama. Di Jakarta, Indonesia menang 2-0, sedangkan di Beijing, mereka kalah 3-4. Karena memiliki poin yang sama, kedua tim pun bermain di tempat netral yakni di Rangoon, Myanmar. Indonesia menahan seri China tanpa gol. Dengan hasil ini, Indonesia berhasil melaju ke babak selanjutnya.
Di babak kedua, Indonesia bergabung bersama Israel, Sudan, dan Mesir. Namun, Indonesia menolak bertanding saat berhadapan dengan Israel karena alasan politis. Pun dengan Mesir yang menolak bertanding. Akhirnya, Israel lolos dengan mudah karena semua lawan yang ia hadapi menolak bertanding. Israel lolos ke babak play off dan bertanding dengan wakil Eropa, Wales.
Di masa Presiden Sukarno, prestasi sepabola Indonesia melesat tajam dan sulit tertandingi saat ini. Pada Asian Games 1958, Indonesia berhasil merebut medali perunggu setelah mengandaskan India di perebutan peringkat ketiga.
Indonesia merajai grup B setelah menang atas India dan Myanmar. Di babak perempat final, Indonesia membantai Fillipina 5-2. Sayang, di semifinal mereka mesti menghadapi Tiongkok yang menjadi juara pada ajang tersebut. Indonesia pun kalah 0-1.
Masih di bawah kepemimpinan Sukarno, Indonesia berhasil merebut medali perak pada ajang Asian Games 1966. Selain itu, Indonesia berhasil memenangi sejumlah kompetisi internasional seperti Turnamen Merdeka 1961, 1962, Piala Emas Agha Khan 1966. Indonesia juga menempatkan empat pemainnya di Asian All-Star pada 1967-1968.
Di masa ini, Indonesia begitu disegani di Asia. Beda dengan saat ini. Untuk menjuarai turnamen AFF pun sulitnya minta ampun. Dulu, kita bicara Uni Soviet atau Tiongkok. Kini, untuk menghadapi Malaysia saja kita kelimpungan.
Motivasi yang diberikan Presiden Sukarno pada saat itu benar-benar membuat hati dan semangat pemain tergugah. Mereka hanya berbekal semangat ketika bermain, karena pada masa itu, belum jamak bonus besar maupun gaji yang cukup untuk seorang pesepakbola.
Para pemain saat itu, dengan tulus mengabdikan dirinya ditambah dengan motivasi tinggi dari Presiden Sukarno membuat Indonesia disegani di Asia.
3. Ketidak berpihakan Soeharto pada sepakbola
Sebelum format “profesional” Liga Indonesia seperti saat ini, Indonesia sebelumnya telah memiliki liga profesional yang bergulir pada 1979. Liga Sepakbola Utama atau lebih dikenal dengan singkatannya Galatama.
Berbeda dengan kompetisi perserikatan, mayortias anggota Galatama adalah perusahaan-perusahaan. Karena tidak dibiayai APBD mereka murni memaksimalkan sisi komersial untuk menghidupi klub.
Ini yang membuat kompetisi Galatama disebut sebagai “profesional”. Berbeda dengan tim yang bermain di perserikatan seperti Persib, PSMS, ataupun Persebaya, yang manajemennya dipegang oleh Pemerintah Daerah/Kota. Kompetisi perserikatan hanya dianggap sebagai adu gengsi karena jumlah hadiah tidak pernah menutupi pengeluaran klub.
Kompetisi Galatama bergulir saat Soeharto menjabat sebagai presiden. Lewat putranya, ia turut membangun kompetisi Galatama.
Putra Soeharto, Sigit Harjoyudanto, adalah pengusaha pemilik Arseto Group. Usahanya ini ada di bidang perkebunan, pertambangan, kimia, hotel, dan penerbangan. Saat Galatama bergulir, Sigit lantas membuat klub sepakbola yang berbasis di Solo, dan menamainya Arseto Solo.
Selain mendirikan Arseto Solo pada 1978, Sigit juga terpilih untuk menjadi Ketua Harian Liga Sepakbola Utama. Pengaruhnya di PSSI semakin menguat setelah ia menjadi Kepala Proyek PSSI Garuda dan Junior, serta menjadi Ketua I PSSI.
Hingga kini, nama Arseto Solo masih dirindukan khususnya oleh warga Solo. Prestasi Arseto bisa dibilang mengagumkan. Mereka mulai menjadi Juara Piala Liga I pada 1985. Dua tahun berselang, mereka menjuarai Invitasi Perserikatan Galatama.
Tahun 1992 menjadi musim terbaik Arseto setelah mereka menjuarai Galatama dan mewakili Indonesia di Liga Champions Asia. Mereka pun mencatatkan sejarah dengan keberhasilannya melaju ke grup semifinal Liga Champions Asia.
Selain kompetisi Galatama, diam-diam Presiden Soeharto sebenarnya menaruh perhatian pada sepakbola Indonesia. Ini terlihat dalam sambutannya di majalah Sepakbola yang diterbitkan PSSI pada 1975. Dalam sambutannya, ia menantang PSSI untuk membentuk tim yang kuat karena dengan 130 juta penduduk Indonesia saat itu, mestinya ditemukan potensi-potensi besar yang hadir dalam skuat timnas.
Selain itu, Soeharto pun turut menghadiri peringatan ulang tahun PSSI pada 1990. Ia menekankan agar PSSI tidak hanya menjadi organisasi olahraga tetapi juga sebagai sarana perjuangan. Ia menekankan prestasi di olahraga berarti mendukung program pemerintah dalam hal pembangunan.
Meski Soeharto tidak pernah turun langsung mengurusi sepakbola Indonesia, namun lewat putranya yang menjabat sebagai Kepala Proyek PSSI, ia bisa memberi prestasi bagi Indonesia. Di masa Soeharto, Indonesia berhasil meraih prestasi tertinggi dengan dua kali menyabet emas di ajang Sea Games. Prestasi tersebut dibuat pada Sea Games 1987 dan Sea Games 1991. Hingga kini, timnas Indonesia belum pernah menyamai gelar yang direbut pada masa itu.
Di jaman Soeharto, pembangunan infrastruktur olahraga kurang berkembang. Ini karena pemerintah pusat kala itu lebih fokus membangun infrastruktur lain seperti jalan tol. Selama 32 tahun berkuasa, tidak satu pun UU Olahrga dibuat. Soeharto memang tak terlalu peka terhadap perkembangan sepakbola, dia seolah acuh dan abai akan hal itu.
Pada dekade 80-90an, sepakbola kadang dijadikan Soeharto sebagai alat untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas kebobrokan rezim. Pada masa itu, Soeharto melegalkan adanya judi bola porkas. Hal ini menurut aktifis membuat generasi muda menjadi tak kritis, seluruh perhatian dicurahkan untuk menonton pertandingan bola yang sedang semarak-semaraknya lewat dua kompetisi akbar Galatama dan Perserikatan. Lewat sepakbola dan porkas, rezim Soeharto pun terus langgeng.
Di lain sisi, ada cerita menarik mengapa timnas sepakbola kita tak terlalu dekat dengan Soeharto. Dia jarang menjadi pembuka ataupun penyerah trofi pada kejuaran-kejuaraan nasional. Sosok presiden ini jarang terlihat di Stadion.  Sosok yang dijuluki The Smiling General ternyata trauma kala menonton pertandingan PON yang berakhir ricuh antara pemain dan pemain, serta penonton dan penonton. Entah takut atau apa hal ini yang membuatnya tidak suka untuk menonton langsung pertandingan sepakbola di stadion. Ia sepertinya kesal dan  benci melihat para pemain dan suporter yang berlaku tidak seperti gentleman.

sumber : panditfootball







No comments:

Post a Comment