"Karma Sepakbola Indonesia"
Penulis: bepe, 04 May 2013
Dalam dunia sepakbola profesional, pergantian pelatih secara mendadak bukan menjadi hal yang aneh dan mengagetkan. Berbagai alasan dikemukakan untuk menggusur atau mengangkat seorang pelatih. Dari mulai yang wajar, sedikit agak aneh, hingga yang tidak masuk akal. Akan tetapi memang begitulah dinamikanya.
Keringnya prestasi tim nasional Indonesia selama bertahun-tahun, tentu terjadi karena banyak faktor. Banyak yang berpendapat bahwa hal tersebut, akibat dari iklim kompetisi di negeri ini yang kurang sehat dan profesional. Kurang diperhatiakannya pembinaan usia dini yang berjenjang dan berkesinambungan. Amburadulnya sistem organisasi di PSSI, dan lain sebagainya.
Kita tentu tidak dapat sepenuhnya menyalahkan opini-opini di atas, walau pendapat tersebut sebenarnya masih layak untuk dikaji ulang dan diperdebatkan. Untuk menjadi sukses tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Dan diantara banyak faktor tersebut, ada satu yang sering kali luput dari perhatian kita.
Adakah di antara kita yang berpikir, bahwa salah satu faktor yang membuat tim nasional Indonesia gagal, adalah terlalu seringnya terjadi pergantian pelatih tim nasional? Coba kita tengok ke belakang, berapa pelatih yang menangani tim nasional dalam kurun waktu 15 tahun terakhir? Sejak 1998 hingga saat ini, tercatat tim nasional Indonesia pernah dibesut oleh 12 orang pelatih.
Berawal dari Almarhum Rusdy Bahalwan di Tiger Cup 1998, kemudian sacara berurutan terdapat nama-nama seperti di bawah ini:
- Bernard Schumm (SEA Games 1999),
– Nandar Iskandar (Pra Piala Asia dan Piala Asia 2000)
– Dananjaya (Tiger Cup 2000)
– Benny Dolo (Pra Piala Dunia 2001)
– Ivan Kolev (Tiger Cup 2002, Pra Piala Asia dan Piala Asia 2004)
– Peter White (AFF Cup 2004, Pra Piala Dunia 2005 dan AFF Cup 2006)
– Ivan Kolev (Piala Asia 2007)
– Benny Dolo (AFF Cup 2008 dan Pra Piala Asia 2009)
– Alfred Riedl (AFF Cup 2010)
– Wim Rijsbergen (Pra Piala Dunia 2011)
– Nil Maizar (AFF Cup 2012)
– Manuel Blanco (Belum sempat memimpin laga timnas)
– Rahmad Dharmawan (Pra Piala Asia 2013)
– Jackson F. Thiago (Pra Piala Asia 2013)
– Nandar Iskandar (Pra Piala Asia dan Piala Asia 2000)
– Dananjaya (Tiger Cup 2000)
– Benny Dolo (Pra Piala Dunia 2001)
– Ivan Kolev (Tiger Cup 2002, Pra Piala Asia dan Piala Asia 2004)
– Peter White (AFF Cup 2004, Pra Piala Dunia 2005 dan AFF Cup 2006)
– Ivan Kolev (Piala Asia 2007)
– Benny Dolo (AFF Cup 2008 dan Pra Piala Asia 2009)
– Alfred Riedl (AFF Cup 2010)
– Wim Rijsbergen (Pra Piala Dunia 2011)
– Nil Maizar (AFF Cup 2012)
– Manuel Blanco (Belum sempat memimpin laga timnas)
– Rahmad Dharmawan (Pra Piala Asia 2013)
– Jackson F. Thiago (Pra Piala Asia 2013)
12 pelatih dalam kurun waktu 15 tahun. Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura misalnya, yang menggunakan jasa Radojko Avramovic sejak 2003 hingga sekarang. Hal yang ingin saya sampaikan adalah, tidak ada kah orang di Federasi Sepakbola Indonesia yang berpikir bahwa lama seorang pelatih menangani tim nasional, sangat berpengaruh dengan hasil yang akan diraih oleh tim nasional itu sendiri.
Dalam hal ini kita bisa belajar bagaimana Singapura begitu yakin, percaya, dan menghargai Radojko sebagai seorang pelatih tim nasional. Raddy juga tidak luput dari kegagalan dalam beberapa turnamen, tetapi Federasi Sepakbola Singapura tetap yakin, sabar, dan percaya. Sekarang semua itu terbalas dengan tiga gelar Piala AFF di tangan Radojko Amvramovic.
Coba kita lihat apa yang terjadi di negara kita tercinta. Bagaimana seorang pelatih dapat mengimplementasikan ilmu serta keinginannya dengan maksimal, jika setiap gagal dalam satu turnamen, maka akan langsung diganti oleh pelatih yang lain. Secara tidak langsung hal tersebut juga akan menjadi kendala yang sangat besar bagi para pemain tim nasional.
Setiap pelatih memiliki gaya dan karakter masing-masing. Sebagai contoh pelatih A memiliki gaya dan karakter bermain dengan warna merah, maka dia akan memilih pemain yang sesuai untuk mendukung sistem bermain warna merah. Namun, karena dianggap gagal dalam sebuah turnamen oleh PSSI, maka seketika akan diganti dengan pelatih yang baru.
Pelatih baru, katakanlah si B datang dengan optimisme baru serta gaya dan karakter bermain warna Biru. Maka secara otomatis pelatih tersebut akan mengubah gaya bermain tim nasional, yang tadinya berwarna merah menjadi warna biru, sesuai dengan keinginannya.
Di sinilah letak permasalahan yang sesungguhnya. Bagaimana sebuah tim dapat meraih hasil maksimal, jika belum juga khatam belajar bermain dengan warna merah, sudah harus dirubah menjadi berwarna biru. Belum lagi ketika dalam turnamen berikutnya, gaya berwain warna biru tersebut dianggap gagal. Maka kemungkinan besar akan datang lagi pelatih baru, yang mungkin membawa warna yang lain ke dalam tim nasional.
Dapat Anda bayangkan betapa tertekannya para pemain tim nasional Indonesia, yang setiap saat harus siap untuk berubah-ubah seperti bunglon, hanya untuk memenuhi budaya instan serta cara berpikir egois dari para pengurus PSSI. Sedangkan masyarakat tidak akan mengerti dan peduli dengan hal tersebut. Ketika tim nasional gagal, maka yang goblok adalah para pemain.
Orang Indonesia itu suka sesuatu yang instan, mie-nya instan, budayanya instan, sukses pun maunya juga dengan cara yang instan. Hal ini yang menurut saya harus diubah. Pada 14 Januari 2008, saya sempat menulis perihal masalah tersebut di website saya www.bambangpamungkas20.com (Pelatih Tim Nasional – 2008).
Tidak hanya menulis, ketika itu saya juga sampaikan kegelisahan saya tersebut kepada pengurus PSSI, mengenai kebijakan yang menurut saya harus dikaji ulang. Akan tetapi pada kenyataannya kebiasaan gonta-ganti pelatih itu, tetap saja terjadi hingga saat ini.
Bahkan akhir-akhir ini hal yang lebih menyedihkan adalah, kebijakan untuk menggeser atau mengganti pelatih terkadang tidak lagi disebabkan oleh hasil yang diperoleh tim nasional, tetapi lebih kepada kebijakan politis dari para elite pengurus PSSI yang tengah berseteru. Apa yang terjadi kepada Alfred Riedl, Wim Rijsbergen, Nil Maizar, dan Manuel Blanco adalah cohtohnya.
Apa yang terjadi dengan Manuel Blanco, adalah preseden paling buruk dalam sejarah kepelatihan tim nasional Indonesia. Bagaimana seorang pelatih ditunjuk untuk mempersiapkan tim, tetapi kemudian tiba-tiba posisinya di ganti beberapa hari jelang laga digelar. Kemudian diangkat kembali menjadi pelatih timnas, sehari setelah laga yang seharusnya menjadi debutnya bersama tim nasional Indonesia.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Beberapa minggu kemudian, jabatan Manuel Blanco digeser menjadi pelatih tim nasional usia 19 tahun, hanya karena terjadi pergantian kepengurusan di tubuh Badan Tim Nasional Indonesia. Manuel Blanco tercatat sebagai pelatih tim nasional Indonesia, yang tidak pernah memimpin laga tim nasional.
Lelucon macam apa ini? Bukan begini cara memperlakukan seorang pelatih tim nasional bapak-bapak. Apa yang terjadi dengan Riedl, Wim, serta Nil Maizar juga tidak kalah memprihatinkan. Terlepas dari apapun hasilnya, apa yang terjadi pada Alfred Riedl, Wim Rijsbergen, Nil Maizar, dan Manuel Blanco adalah cerminan betapa tidak menghargainya para pengurus PSSI dalam memperlakukan pelatih tim nasional.
Mereka tidak pernah paham, bahwa salah satu faktor yang membuat tim nasional Indonesia tidak pernah berhasil menjadi sebuah tim yang solid, adalah terlalu seringnya tim nasional bergonta-ganti pelatih. Setiap pelatih baru akan selalu membawa hal-hal baru yang tentunya juga positif. Akan tetapi sudah selayaknya, jika pelatih lama juga mendapatkan apresiasi yang lebih baik dari apa yang terjadi saat ini.
Sejujurnya para pemain tim nasional tidak peduli dengan siapapun pelatih yang akan menangani tim nasional. Akan tetapi siapapun itu, alangkah sangat bijaksananya jika mereka diberi waktu yang lebih panjang dalam menangani tim nasional. Agar pelatih tersebut dapat menerapkan seluruh ilmunya dengan maksimal, sehingga pada akhirnya buah manis dari kerja kerasnya dapat kita sama-sama nikmati.
Akhir sekali, salah satu hal yang membuat saya bangga menjalani profesi sebagai seorang olahragawan adalah, apapun yang terjadi kami selalu mengawali dan mengakhirinya dengan jabat tangan. Begitu juga dengan para pelatih tersebut, terlepas dari hal tersebut sudah pasti menyakiti hati mereka, tetapi toh pada akhirnya mereka tetap berjabat tangan saat mengakhiri kerja sama dengan PSSI.
Akan tetapi kita semua tentu yakin dan percaya jika karma itu ada dalam kehidupan. Dan bisa jadi kegagalan demi kegagalan yang kita alami selama ini, adalah karma dari apa yang selama ini telah kita perbuat.
Selesai…
via bambangpamungkas20.com