Bagaimana memahami para fans jingkrak-jingkrak membawa bendera merah putih ketika Arsenal mencetak gol ketujuh ke gawang Indonesia? Agak sukar memahaminya. Tapi mungkin ada beberapa alternatif untuk memahami hal itu.
Kemungkinan pertama, mungkin para fans itu memang tahu diri untuk tidak terlalu tegang menyaksikan pertandingan. Untuk apa bertegang-tegang ria di sebuah pertandingan hiburan, bukan? Atau, jika ingin menyesuaikan dengan suasana Ramadan, bisalah laga-laga seperti ini disebut sebagai upaya klub-klub itu menjalin “tali silaturahmi” dengan para fans yang sudah dengan ikhlas dan tawadhu ikut membesarkan atau bahkan membiayai klub kecintaannya.
Ya, itu memang pertandingan hiburan, laga silaturahmi. Juga laga Indonesia XYZWRXXX (entahlah apa lagi namanya) vs Liverpool atau Chelsea beberapa waktu yang akan datang. Bahkan disebut “laga persahabatan” (friendly match) pun rasanya memang kurang begitu pas.
Indonesia vs Belanda beberapa waktu lalu mungkin lebih pantas disebut sebagai “laga persahabatan”. Selain itu memang laga yang mempertemukan tim dari kategori yang sama (sama-sama timnas), laga itu juga berakhir dengan skor yang “bersahabat”: hanya 3-0. Masih bersahabat lah itu angkanya.
Memangnya kenapa kalau 7-0? Ya, memang apa enaknya kalah 0-7?
Jacksen F. Tiago, pelatih timnas sekarang yang menukangi tim yang dihadapi Arsenal, juga sudah mewanti-wanti risikonya. Jacksen sejak awal memang tidak mau kalah terlalu banyak (memangnya siapa yang mau?) karena kalah telak bisa mengganggu psikologi para pemain timnas yang sedang dipersiapkan untuk menghadapi lanjutan kualifikasi Piala Asia.
Kemungkinan kedua, kali ini agak sedikit rada serius argumentasinya, para fans itu mungkin memang sudah tak lagi terpengaruhi “wabah” nasionalisme. Mereka adalah wakil generasi baru orang Indonesia yang tak mau lagi dibekap slogan-slogan usang kebanggaan dan fanatisme terhadap apa yang disebut tanah air, bangsa dan negara.
Untuk yang seperti ini, apa pun jika dirasa baik dan berguna kenapa harus ditampik? Tak penting lagi dari mana asalnya, kalau dirasa cocok, suka, nyaman dan menyenangkan, ya ayo dinikmati saja.
Apa untungnya coba berdarah-darah mendukung tim nasional Indonesia yang –dengan memplesetkan kalimat termasyhur Pramoedya– “sudah kacrut sejak dari passing“? Tidak ada gunanya, dan buang-buang waktu serta tenaga, untuk peduli dengan sepakbola Indonesia. Untuk apa peduli dengan sepakbola Indonesia jika para pengampu urusan bal-balan Indonesia-nya sendiri malah sibuk mikirin Pemilu 2014?
Emosi? Lho, banyak dari mereka bisa sangat emosional, histeris dan menjerit-jerit melihat pemain-pemain bule pujaannya lewat di depan mereka. Mereka hanya perlu diberi satu atau dua smoke bombatau red flare untuk bisa sekeren ultras di Italia atau barra bravas di Argentina.
Bahwa sisi emosional dan histeria itu kadang agak sedikit rada sukar dibedakan dengan histeria para fans Super Junior atau Cherrybelle, ya itu sih bukan perkara yang terlalu penting untuk dipersoalkan. Toh, memang tak ada yang berhak menghakimi kalau para fans Arsenal, Chelsea, atau Liverpool yang histeris melihat pemain idolanya (tiga tim yang bulan ini pentas di Jakarta) lebih keren dari para fans Super Junior atau Cherrybelle.
Kemungkinan ketiga, ini lebih serius lagi argumennya, mungkin para fans itu hanya sedang menikmati sesuatu secara lebih proporsional saja. Karena jarang menonton langsung klub-klub Eropa itu bermain, tidak ada salahnya untuk bersorak-sorai, bernyanyi, atau bahkan menyalakan flare untuk semua aksi-aksi menarik yang tersaji di atas lapangan. Di lain kesempatan, saat tim nasional Indonesia bertanding, banyak dari mereka yang juga dengan sangat khidmatnya menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum kick-off.
Bukankah orang bisa mencintai dua hal berbeda pada waktu yang sama? Perselingkuhan? Sama sekali bukan.
Ini seperti orang yang menyukai gado-gado (baca: sepakbola/tim nasional) sekaligus menggemari karedok leunca (baca: sepakbola/klub Eropa). Kalau yang tersedia gado-gado, ya akan disantap dengan sepenuh hati. Kalau yang tersaji adalah karedok leunca, juga akan disikat dengan sepenuh liur.
Bagaimana kalau dua jenis makanan yang disukai itu terhidangkan di meja dalam waktu yang sama? Ya pilih saja salah satu yang paling jarang dimakan atau sudah lama tidak dicicipi. Bisa memilih gado-gado, boleh juga memilih karedok leunca. Keduanya bisa sama-sama sehat. Apalagi jika dimakan tanpa vetsin.
Dan jika seseorang sudah mencintai sesuatu, apa yang lebih membahagiakan selain berjumpa dengan objek yang dicintainya? Begitu pula para fans yang sudah terlalu lama mencintai klub Eropa kesayangannya dari kejauhan. Kalau mencintai klub Eropa adalah kesalahan, mereka akan dengan senang hati memilih untuk terus jadi salah. Tak ada keraguan untuk soal yang satu ini.
Kawan, selamat menikmati karedok leunca, eh… pentas sepakbola!
bagi saya mencintai tim eropa tapi tidak mencintai tim lokal sama halnya,mencintai isti tapi tidak mencintai ibu, durhaka men!