Saat kita bernyanyi di atas tribun, saat kita berjingkrak pula, sebenarnya kita tau bahwa kita berhadapan dengan kelelahan. Tapi itulah cara kita menjawab kenikmatan dalam kesetiaan.
Sudah sering saya singgung sebelumnya, menjadi supporter yang utama bagi saya adalah perkara tidak berhenti bernyanyi. Bernyanyi 2 x 45 menit saja bagi saya sendiri sudah sangat menyita tenaga. Belum lagi ditambah ekspresi berjingkrak di atas tribun seperti kesetanan, tentu saja tenaga sungguh tersedot dan membuat kaki ini serasa mau copot. Kelelahan ini belum lagi ditambah dengan sesaknya nafas ketika mulai dinyalakannya flaredan bom asap sebagai bentuk perayaan betapa sakralnya pertandingan tim yang kita cintai. Ada perasaan ingin duduk dan menikmati pertandingan, namun perasaan itu selalu terbunuh begitu saja.
Nyanyian-nyanyian, gerakan tak berpola dan seenaknya, aksi bakar-bakaran ini selalu menimbulkan pertanyaan bagi orang di luar dunia supporter. Seringkali muncul kalimat, "Kenapa sih kalian gila gitu?" atau "Ga bisa ya biasa aja nonton bola?" atau lagi "Udah wajar kok, supporter kan emang norak, kampungan." Pertanyaan-pertanyaan seputar ketidaktauan itu tentu saja selalu ditanggapi dingin oleh supporter. Bagi yang hanya melihat, pasti tidak bisa tau dan tidak bisa merasakan bagaimana supporter itu berperilaku. Saya sendiri sebagai supporter kadang sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Bagi saya, saya tidak begitu peduli dengan omongan apapun tentang supporter, ya beginilah kami. Kami adalah bagian dari subkultur, yang memang keluar dari pakem-pakem sosial. Semua yang kami lakukan ini adalah jawaban kami atas kenikmatan kami mendukung tim, atas kesetiaan kami dalam mengawal tim kami bertanding.