Thursday, September 4, 2014

karma sepakbola indonesia

"Karma Sepakbola Indonesia"

Penulis: bepe, 04 May 2013
Dalam dunia sepakbola profesional, pergantian pelatih secara mendadak bukan menjadi hal yang aneh dan mengagetkan. Berbagai alasan dikemukakan untuk menggusur atau mengangkat seorang pelatih. Dari mulai yang wajar, sedikit agak aneh, hingga yang tidak masuk akal. Akan tetapi memang begitulah dinamikanya.
Keringnya prestasi tim nasional Indonesia selama bertahun-tahun, tentu terjadi karena banyak faktor. Banyak yang berpendapat bahwa hal tersebut, akibat dari iklim kompetisi di negeri ini yang kurang sehat dan profesional. Kurang diperhatiakannya pembinaan usia dini yang berjenjang dan berkesinambungan. Amburadulnya sistem organisasi di PSSI, dan lain sebagainya.
Kita tentu tidak dapat sepenuhnya menyalahkan opini-opini di atas, walau pendapat tersebut sebenarnya masih layak untuk dikaji ulang dan diperdebatkan. Untuk menjadi sukses tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Dan diantara banyak faktor tersebut, ada satu yang sering kali luput dari perhatian kita.
Adakah di antara kita yang berpikir, bahwa salah satu faktor yang membuat tim nasional Indonesia gagal, adalah terlalu seringnya terjadi pergantian pelatih tim nasional? Coba kita tengok ke belakang, berapa pelatih yang menangani tim nasional dalam kurun waktu 15 tahun terakhir? Sejak 1998 hingga saat ini, tercatat tim nasional Indonesia pernah dibesut oleh 12 orang pelatih.
Berawal dari Almarhum Rusdy Bahalwan di Tiger Cup 1998, kemudian sacara berurutan terdapat nama-nama seperti di bawah ini:
- Bernard Schumm (SEA Games 1999),
– Nandar Iskandar (Pra Piala Asia dan Piala Asia 2000)
– Dananjaya (Tiger Cup 2000)
– Benny Dolo (Pra Piala Dunia 2001)
– Ivan Kolev (Tiger Cup 2002, Pra Piala Asia dan Piala Asia 2004)
– Peter White (AFF Cup 2004, Pra Piala Dunia 2005 dan AFF Cup 2006)
– Ivan Kolev (Piala Asia 2007)
– Benny Dolo (AFF Cup 2008 dan Pra Piala Asia 2009)
– Alfred Riedl (AFF Cup 2010)
– Wim Rijsbergen (Pra Piala Dunia 2011)
– Nil Maizar (AFF Cup 2012)
– Manuel Blanco (Belum sempat memimpin laga timnas)
– Rahmad Dharmawan (Pra Piala Asia 2013)
– Jackson F. Thiago (Pra Piala Asia 2013)
12 pelatih dalam kurun waktu 15 tahun. Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura misalnya, yang menggunakan jasa Radojko Avramovic sejak 2003 hingga sekarang. Hal yang ingin saya sampaikan adalah, tidak ada kah orang di Federasi Sepakbola Indonesia yang berpikir bahwa lama seorang pelatih menangani tim nasional, sangat berpengaruh dengan hasil yang akan diraih oleh tim nasional itu sendiri.
Dalam hal ini kita bisa belajar bagaimana Singapura begitu yakin, percaya, dan menghargai Radojko sebagai seorang pelatih tim nasional. Raddy juga tidak luput dari kegagalan dalam beberapa turnamen, tetapi Federasi Sepakbola Singapura tetap yakin, sabar, dan percaya. Sekarang semua itu terbalas dengan tiga gelar Piala AFF di tangan Radojko Amvramovic.
Coba kita lihat apa yang terjadi di negara kita tercinta. Bagaimana seorang pelatih dapat mengimplementasikan ilmu serta keinginannya dengan maksimal, jika setiap gagal dalam satu turnamen, maka akan langsung diganti oleh pelatih yang lain. Secara tidak langsung hal tersebut juga akan menjadi kendala yang sangat besar bagi para pemain tim nasional.
Setiap pelatih memiliki gaya dan karakter masing-masing. Sebagai contoh pelatih A memiliki gaya dan karakter bermain dengan warna merah, maka dia akan memilih pemain yang sesuai untuk mendukung sistem bermain warna merah. Namun, karena dianggap gagal dalam sebuah turnamen oleh PSSI, maka seketika akan diganti dengan pelatih yang baru.
Pelatih baru, katakanlah si B datang dengan optimisme baru serta gaya dan karakter bermain warna Biru. Maka secara otomatis pelatih tersebut akan mengubah gaya bermain tim nasional, yang tadinya berwarna merah menjadi warna biru, sesuai dengan keinginannya.
Di sinilah letak permasalahan yang sesungguhnya. Bagaimana sebuah tim dapat meraih hasil maksimal, jika belum juga khatam belajar bermain dengan warna merah, sudah harus dirubah menjadi berwarna biru. Belum lagi ketika dalam turnamen berikutnya, gaya berwain warna biru tersebut dianggap gagal. Maka kemungkinan besar akan datang lagi pelatih baru, yang mungkin membawa warna yang lain ke dalam tim nasional.
Dapat Anda bayangkan betapa tertekannya para pemain tim nasional Indonesia, yang setiap saat harus siap untuk berubah-ubah seperti bunglon, hanya untuk memenuhi budaya instan serta cara berpikir egois dari para pengurus PSSI. Sedangkan masyarakat tidak akan mengerti dan peduli dengan hal tersebut. Ketika tim nasional gagal, maka yang goblok adalah para pemain.
Orang Indonesia itu suka sesuatu yang instan, mie-nya instan, budayanya instan, sukses pun maunya juga dengan cara yang instan. Hal ini yang menurut saya harus diubah. Pada 14 Januari 2008, saya sempat menulis perihal masalah tersebut di website saya www.bambangpamungkas20.com (Pelatih Tim Nasional – 2008).
Tidak hanya menulis, ketika itu saya juga sampaikan kegelisahan saya tersebut kepada pengurus PSSI, mengenai kebijakan yang menurut saya harus dikaji ulang. Akan tetapi pada kenyataannya kebiasaan gonta-ganti pelatih itu, tetap saja terjadi hingga saat ini.
Bahkan akhir-akhir ini hal yang lebih menyedihkan adalah, kebijakan untuk menggeser atau mengganti pelatih terkadang tidak lagi disebabkan oleh hasil yang diperoleh tim nasional, tetapi lebih kepada kebijakan politis dari para elite pengurus PSSI yang tengah berseteru. Apa yang terjadi kepada Alfred Riedl, Wim Rijsbergen, Nil Maizar, dan Manuel Blanco adalah cohtohnya.
Apa yang terjadi dengan Manuel Blanco, adalah preseden paling buruk dalam sejarah kepelatihan tim nasional Indonesia. Bagaimana seorang pelatih ditunjuk untuk mempersiapkan tim, tetapi kemudian tiba-tiba posisinya di ganti beberapa hari jelang laga digelar. Kemudian diangkat kembali menjadi pelatih timnas, sehari setelah laga yang seharusnya menjadi debutnya bersama tim nasional Indonesia.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Beberapa minggu kemudian, jabatan Manuel Blanco digeser menjadi pelatih tim nasional usia 19 tahun, hanya karena terjadi pergantian kepengurusan di tubuh Badan Tim Nasional Indonesia. Manuel Blanco tercatat sebagai pelatih tim nasional Indonesia, yang tidak pernah memimpin laga tim nasional.
Lelucon macam apa ini? Bukan begini cara memperlakukan seorang pelatih tim nasional bapak-bapak. Apa yang terjadi dengan Riedl, Wim, serta Nil Maizar juga tidak kalah memprihatinkan. Terlepas dari apapun hasilnya, apa yang terjadi pada Alfred Riedl, Wim Rijsbergen, Nil Maizar, dan Manuel Blanco adalah cerminan betapa tidak menghargainya para pengurus PSSI dalam memperlakukan pelatih tim nasional.
Mereka tidak pernah paham, bahwa salah satu faktor yang membuat tim nasional Indonesia tidak pernah berhasil menjadi sebuah tim yang solid, adalah terlalu seringnya tim nasional bergonta-ganti pelatih. Setiap pelatih baru akan selalu membawa hal-hal baru yang tentunya juga positif. Akan tetapi sudah selayaknya, jika pelatih lama juga mendapatkan apresiasi yang lebih baik dari apa yang terjadi saat ini.
Sejujurnya para pemain tim nasional tidak peduli dengan siapapun pelatih yang akan menangani tim nasional. Akan tetapi siapapun itu, alangkah sangat bijaksananya jika mereka diberi waktu yang lebih panjang dalam menangani tim nasional. Agar pelatih tersebut dapat menerapkan seluruh ilmunya dengan maksimal, sehingga pada akhirnya buah manis dari kerja kerasnya dapat kita sama-sama nikmati.
Akhir sekali, salah satu hal yang membuat saya bangga menjalani profesi sebagai seorang olahragawan adalah, apapun yang terjadi kami selalu mengawali dan mengakhirinya dengan jabat tangan. Begitu juga dengan para pelatih tersebut, terlepas dari hal tersebut sudah pasti menyakiti hati mereka, tetapi toh pada akhirnya mereka tetap berjabat tangan saat mengakhiri kerja sama dengan PSSI.
Akan tetapi kita semua tentu yakin dan percaya jika karma itu ada dalam kehidupan. Dan bisa jadi kegagalan demi kegagalan yang kita alami selama ini, adalah karma dari apa yang selama ini telah kita perbuat.
Selesai…
via bambangpamungkas20.com

Tuesday, August 26, 2014

Presiden dan sepakbola Indonesia

Presiden dan Sepakbola Indonesia (1): Membangun Kejayaan Lewat Sebuah Stadion
Presiden pertama Indonesia, Sukarno, memberikan warisan terbesar bagi timnas Indonesia hingga saat ini. Warisan tersebut adalah stadion megah berkapasitas 80 ribu penonton bernama Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Stadion ini pernah menyandang sebagai stadion terbesar di Asia pada masa itu.
GBK menjadi kandang timnas Indonesia untuk melakoni laga internasional. Di sini pula menjadi tempat eksebisi tim-tim Eropa yang akan beruji tanding di Indonesia. Selain pertandingan, stadion GBK juga menjadi markas organisasi sepakbola Indonesia, PSSI.
GBK merupakan mimpi Sukarno sebagai bentuk pembangunan bangsa. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan sesuatu yang besar, yang dapat mengangkat martabat negeri ini di mata dunia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Sukarno berhasrat membangun stadion berbentuk oval dengan semua tribun saling terhubung. Bentuk stadion ini mirip Stadion Maracana namun memiliki atap yang saling bertemu. Di masa itu, konstruksi atap temu gelang adalah hal yang sulit untuk dilakukan.
Pembangunan sudah mulai dilakukan pada pertengahan 1958. Peletakan batu pertama oleh Soekarno baru dilakukan pada Februari 1960. Selama dua tahun, GBK pun rampung dan siap digunakan untuk Asian Games IV pada 1962.
Membuat stadion megah tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Setidaknya dana sebesar 12 juta dollar mesti disiapkan. Kedekatan Sukarno dengan negara-negara komunis seperti Uni Soviet, nyatanya berbuah manis. Ia mendapatkan kredit lunak untuk pembangunan GBK.
Awalnya, stadion ini mampu menampung 100 ribu penonton dan masih merupakan yang terbesar di Indonesia. Kini, kapasitas stadion berkurang karena penempatan kursi di beberapa sektor, serta dikurangi karena alasan keamanan.
Di masa Sukarno, stadion ini juga kerap dijadikan sebagai tempat untuk berorasi Sang Proklamator.
Selepas dipaksa turun sebagai presiden, GBK pun berubah nasib. Di masa Orde Baru, stadion ini sempat berganti nama menjadi Stadion Utama Senayan. Banyak yang menganggap ini dalam rangka de-soekarnoisasi agar pengaruh Soekarno tidak terlalu besar di masa tersebut.
Ketika reformasi bergulir, pemerintah akhirnya mengembalikan nama Stadion Utama Senayan menjadi Stadion Utama Gelora Bung Karno. GBK menjadi saksi kala timnas Indonesia berhasil meraih medali emas Sea Games 1987. Ini merupakan prestasi pertama yang bisa diraih timnas Indonesia di level internasional.
Stadion ini merupakan bentuk dukungan Sukarno untuk memajukan sepakbola Indonesia. Ia dengan sadar mengetahui bahwa sepakbola mampu untuk menyatukan warga Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Meski kini telah tiada, tapi gelora semangat Sukarno terepresentasikan lewat sebuah stadion megah yang dinamai persis seperti nama dirinya: Stadion Gelora Bung Karno.
2, Kegigihan Soekarno dan mimpi macan asia 
Meski baru 17 tahun diproklamirkan sebagai negara merdeka, Indonesia telah berhasil menyelenggarakan Asian Games ke IV pada 1962. Di cabang olahraga sepakbola, Indonesia menjadi tim yang disegani di Asia.
Pada 1956, tim sepakbola Indonesia memastikan diri tampil di Olimpiade Melbourne. Di ajang ini, lawan-lawan kuat seperti Jerman Timur dan Uni Soviet turut berlaga. Malang bagi Indonesia, karena di babak perempat final mereka mesti bertemu Uni Soviet.
Menurut kabar saat itu, Presiden Sukarno kerap memberikan semangat bagi para pemain untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Hasilnya, Indonesia berhasil menahan imbang Uni Soviet tanpa gol.
Saat itu, belum jamak babak tambahan maupun adu tendangan penalti. Sehingga, pertandingan mesti diulang. Dalam partai ulangan ini, Indonesia kalah 0-4. Tapi keberhasilan menahan Uni Soviet merupakan prestasi yang dianggap luar biasa karena saat itu, Uni Soviet merupakan salah satu tim kuat di dunia.
Sukarno pun berperan penting bagi perjalanan timnas Indonesia untuk melakoni pertandingan internasional.
Pada 1958 Indonesia bermain di babak kualifikasi Piala Dunia. Hasil baik terjadi setelah Indonesia berhasil mengalahkan China pada babak pertama. Di Jakarta, Indonesia menang 2-0, sedangkan di Beijing, mereka kalah 3-4. Karena memiliki poin yang sama, kedua tim pun bermain di tempat netral yakni di Rangoon, Myanmar. Indonesia menahan seri China tanpa gol. Dengan hasil ini, Indonesia berhasil melaju ke babak selanjutnya.
Di babak kedua, Indonesia bergabung bersama Israel, Sudan, dan Mesir. Namun, Indonesia menolak bertanding saat berhadapan dengan Israel karena alasan politis. Pun dengan Mesir yang menolak bertanding. Akhirnya, Israel lolos dengan mudah karena semua lawan yang ia hadapi menolak bertanding. Israel lolos ke babak play off dan bertanding dengan wakil Eropa, Wales.
Di masa Presiden Sukarno, prestasi sepabola Indonesia melesat tajam dan sulit tertandingi saat ini. Pada Asian Games 1958, Indonesia berhasil merebut medali perunggu setelah mengandaskan India di perebutan peringkat ketiga.
Indonesia merajai grup B setelah menang atas India dan Myanmar. Di babak perempat final, Indonesia membantai Fillipina 5-2. Sayang, di semifinal mereka mesti menghadapi Tiongkok yang menjadi juara pada ajang tersebut. Indonesia pun kalah 0-1.
Masih di bawah kepemimpinan Sukarno, Indonesia berhasil merebut medali perak pada ajang Asian Games 1966. Selain itu, Indonesia berhasil memenangi sejumlah kompetisi internasional seperti Turnamen Merdeka 1961, 1962, Piala Emas Agha Khan 1966. Indonesia juga menempatkan empat pemainnya di Asian All-Star pada 1967-1968.
Di masa ini, Indonesia begitu disegani di Asia. Beda dengan saat ini. Untuk menjuarai turnamen AFF pun sulitnya minta ampun. Dulu, kita bicara Uni Soviet atau Tiongkok. Kini, untuk menghadapi Malaysia saja kita kelimpungan.
Motivasi yang diberikan Presiden Sukarno pada saat itu benar-benar membuat hati dan semangat pemain tergugah. Mereka hanya berbekal semangat ketika bermain, karena pada masa itu, belum jamak bonus besar maupun gaji yang cukup untuk seorang pesepakbola.
Para pemain saat itu, dengan tulus mengabdikan dirinya ditambah dengan motivasi tinggi dari Presiden Sukarno membuat Indonesia disegani di Asia.
3. Ketidak berpihakan Soeharto pada sepakbola
Sebelum format “profesional” Liga Indonesia seperti saat ini, Indonesia sebelumnya telah memiliki liga profesional yang bergulir pada 1979. Liga Sepakbola Utama atau lebih dikenal dengan singkatannya Galatama.
Berbeda dengan kompetisi perserikatan, mayortias anggota Galatama adalah perusahaan-perusahaan. Karena tidak dibiayai APBD mereka murni memaksimalkan sisi komersial untuk menghidupi klub.
Ini yang membuat kompetisi Galatama disebut sebagai “profesional”. Berbeda dengan tim yang bermain di perserikatan seperti Persib, PSMS, ataupun Persebaya, yang manajemennya dipegang oleh Pemerintah Daerah/Kota. Kompetisi perserikatan hanya dianggap sebagai adu gengsi karena jumlah hadiah tidak pernah menutupi pengeluaran klub.
Kompetisi Galatama bergulir saat Soeharto menjabat sebagai presiden. Lewat putranya, ia turut membangun kompetisi Galatama.
Putra Soeharto, Sigit Harjoyudanto, adalah pengusaha pemilik Arseto Group. Usahanya ini ada di bidang perkebunan, pertambangan, kimia, hotel, dan penerbangan. Saat Galatama bergulir, Sigit lantas membuat klub sepakbola yang berbasis di Solo, dan menamainya Arseto Solo.
Selain mendirikan Arseto Solo pada 1978, Sigit juga terpilih untuk menjadi Ketua Harian Liga Sepakbola Utama. Pengaruhnya di PSSI semakin menguat setelah ia menjadi Kepala Proyek PSSI Garuda dan Junior, serta menjadi Ketua I PSSI.
Hingga kini, nama Arseto Solo masih dirindukan khususnya oleh warga Solo. Prestasi Arseto bisa dibilang mengagumkan. Mereka mulai menjadi Juara Piala Liga I pada 1985. Dua tahun berselang, mereka menjuarai Invitasi Perserikatan Galatama.
Tahun 1992 menjadi musim terbaik Arseto setelah mereka menjuarai Galatama dan mewakili Indonesia di Liga Champions Asia. Mereka pun mencatatkan sejarah dengan keberhasilannya melaju ke grup semifinal Liga Champions Asia.
Selain kompetisi Galatama, diam-diam Presiden Soeharto sebenarnya menaruh perhatian pada sepakbola Indonesia. Ini terlihat dalam sambutannya di majalah Sepakbola yang diterbitkan PSSI pada 1975. Dalam sambutannya, ia menantang PSSI untuk membentuk tim yang kuat karena dengan 130 juta penduduk Indonesia saat itu, mestinya ditemukan potensi-potensi besar yang hadir dalam skuat timnas.
Selain itu, Soeharto pun turut menghadiri peringatan ulang tahun PSSI pada 1990. Ia menekankan agar PSSI tidak hanya menjadi organisasi olahraga tetapi juga sebagai sarana perjuangan. Ia menekankan prestasi di olahraga berarti mendukung program pemerintah dalam hal pembangunan.
Meski Soeharto tidak pernah turun langsung mengurusi sepakbola Indonesia, namun lewat putranya yang menjabat sebagai Kepala Proyek PSSI, ia bisa memberi prestasi bagi Indonesia. Di masa Soeharto, Indonesia berhasil meraih prestasi tertinggi dengan dua kali menyabet emas di ajang Sea Games. Prestasi tersebut dibuat pada Sea Games 1987 dan Sea Games 1991. Hingga kini, timnas Indonesia belum pernah menyamai gelar yang direbut pada masa itu.
Di jaman Soeharto, pembangunan infrastruktur olahraga kurang berkembang. Ini karena pemerintah pusat kala itu lebih fokus membangun infrastruktur lain seperti jalan tol. Selama 32 tahun berkuasa, tidak satu pun UU Olahrga dibuat. Soeharto memang tak terlalu peka terhadap perkembangan sepakbola, dia seolah acuh dan abai akan hal itu.
Pada dekade 80-90an, sepakbola kadang dijadikan Soeharto sebagai alat untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas kebobrokan rezim. Pada masa itu, Soeharto melegalkan adanya judi bola porkas. Hal ini menurut aktifis membuat generasi muda menjadi tak kritis, seluruh perhatian dicurahkan untuk menonton pertandingan bola yang sedang semarak-semaraknya lewat dua kompetisi akbar Galatama dan Perserikatan. Lewat sepakbola dan porkas, rezim Soeharto pun terus langgeng.
Di lain sisi, ada cerita menarik mengapa timnas sepakbola kita tak terlalu dekat dengan Soeharto. Dia jarang menjadi pembuka ataupun penyerah trofi pada kejuaran-kejuaraan nasional. Sosok presiden ini jarang terlihat di Stadion.  Sosok yang dijuluki The Smiling General ternyata trauma kala menonton pertandingan PON yang berakhir ricuh antara pemain dan pemain, serta penonton dan penonton. Entah takut atau apa hal ini yang membuatnya tidak suka untuk menonton langsung pertandingan sepakbola di stadion. Ia sepertinya kesal dan  benci melihat para pemain dan suporter yang berlaku tidak seperti gentleman.

sumber : panditfootball







Rokok dan sepabola Indonesia

Rokok dan olahraga adalah dua hal yang jelas berbeda. Yang satu dapat mengolah tubuh, satunya lagi malah merusak. Uniknya, beberapa tahun ke belakang, di Indonesia, sering ditemukan produk rokok menjadi sponsor kegiatan olahraga.
 Sepakbola, bola basket, hingga bola biliar pun tak luput dari sponsor rokok. Sebenarnya, tidak ada yang salah karena kerjasama keduanya saling menguntungkan. Kegiatan olahraga menjadi dapat berlangsung karena bantuan dana. Sementara itu, produk rokok mendapatkan ruang untuk memasang iklan dan menjual produknya.
Dalam ajang bola basket, biasanya terdapat aturan bahwa penonton mestilah mereka yang berusia di atas 18 tahun dibuktikan dengan menunjukkan KTP. Begitu pula dalam bola biliar. Untuk kegiatan yang disiarkan langsung, mereka yang di bawah 18 tahun tidak boleh berada di jajaran penonton. Tapi ada yang unik dalam sepakbola. Beberapa tahun ke belakang, Liga Indonesia disponsori oleh produk rokok, tapi tidak ada larangan bagi anak-anak untuk masuk ke stadion.
Di stadion, asap dari pembakaran berbatang-batang rokok jamak ditemui dan mungkin saja tak sengaja terhirup. Ya, ini adalah hal yang jamak dan dianggap biasa. Toh, penjual rokoknya pun dibiarkan bebas berkeliling menjajakan dagangannya.
Artinya, di negeri ini tidak ada korelasi antara penonton olahraga dengan olahraga itu sendiri. Mereka menonton demi kesenangan dan kepuasan semata. Mereka tak perlu sehat untuk menyaksikan pertandingan. Bahkan, mereka mengotori paru-parunya sendiri kala menyaksikan pertandingan olahraga!
Ini yang mestinya menjadi perhatian besar bagi pengurus cabang olahraga, khususnya sepakbola. Mulai tahun ini, segala jenis sponsor dari produk rokok untuk kegiatan musik dan olahraga sudah dilarang. Banyak yang menjadi korban, salah satunya kegiatan musik jazz tahunan di Jakarta, yang tidak lagi digelar.
Para pengurus cabang olahraga mesti mulai memikirkan sumber dana selain dari rokok. Secara tidak langsung, hal ini memberikan manfaat tambahan: mengedukasi para penonton kegiatan olahraga untuk lebih menyayangi tubuhnya sendiri.
Saat final Liga Eropa dan Liga Champions Eropa, UEFA dengan tegas memberikan larangan rokok di dalam stadion. Hal ini menurut UEFA akan terus berlanjut di kompetisi resmi UEFA lainnya seperti Piala Eropa.
Beberapa pekan lalu, gelandang Arsenal, Jack Wilshere, tertangkap kamera tengah menghisap rokok. Ia pun menjadi bulan-bulanan kritik. Salah satunya dari manajer Chelsea, Jose Mourinho. Ia menganggap Wilshere bukanlah seorang pesepakbola yang layak dicontoh. Ia memberi panduan buruk bagi anak-anak yang mengidolakannya.
Melihat pendapat Mourinho dan media di Inggris, terlihat bahwa merokok di kalangan pesepakbola adalah hal yang tabu. Sebagai seorang panutan, mereka diharapkan tidak berperilaku buruk, salah satunya dengan tidak merokok.
Ada pandangan yang berbeda terhadap rokok, antara pendukung sepakbola di Indonesia, dengan dengan negara tempat industri sepakbola berkembang. Di tempat di mana industri sepakbola berkembang pesat, pesepakbola adalah role model bagi mereka yang mengidolakannya. Tapi di Indonesia, pesepakbola belum sampai pada tahap itu.
Jika pandangan ini bisa diubah dan pesepakbola Indonesia telah dianggap sebagai panutan, sungguh satu hal yang teramat istimewa jika mereka mampu memberi pengaruh baik bagi para fans. Salah satunya, tentu saja dengan mempropagandakan untuk melakukan pola hidup sehat.
Ketika masyarakat Indonesia tak lagi mengidolai rokok sebagai pegangan hidup, maka kehilangan pemasukan dari sponsor rokok tak akan menjadi masalah yang besar. Toh, tidak ada korelasi antara rokok dengan olahraga. Kegiatan olahraga sudah seharusnya disponsori oleh minuman kesehatan, susu berprotein, dan sponsor yang memang menunjang bagi pesepakbola. Ini bukan lagi masanya, sebuah liga atau klub disponsori oleh sesuatu yang bertentangan dengan tujuan olahraga, bir misalnya.
Semoga saja, perkembangan sepakbola Indonesia sudah mampu mencapai pada tahap tersebut. Pesepakbola bukan lagi sebagai seseorang yang miskin karena tidak digaji berbulan-bulan oleh klub. Tapi, ia dapat menjadi agen perubahan yang menjadi panutan bagi para penggemarnya. Sepakbola Indonesia mestilah diletakkan pada tingkat tertinggi dari sekadar hiburan. Sepakbola mesti kembali ke fitrah sebagai sarana mengolah raga agar terisi dengan hal yang positif.

Sumber : panditfootball

Alasan mengapa PSSI harus tetap amatir!


 aaf, mungkin akan membuat anda sedikit bersusah payah untuk membacanya.

Namun yang jelas ketika kita membaca esai pendek ini, mungkin kita akan sedikit tertawa melihat kondisi persepakbolaan kita di masa itu. Berikut isi esai yang tertulis dalam Majalah resmi PSSI berjudul “Majalah Olahraga Edisi November tahun 1937.
  dengan memberikan transportkosten pada spelersnja. Ingin menjadi kampioen memang baik dan seharoesnja. Tetapi djagan menjimpan bibit penjakit, jang soesah diobatinya. lebih tjelaka tidak berani mendjalankan sesoeatoer peratoeran djang haroes didjalankan.
Proffesional atau Beroepsvoetballer?
Beroepsvoetballer atau prof, ialah seseorang voetballer, jang hidoepnja dari pemainan bal. Karena permainannja bal ito, ia dapat gadjih. Djadi penghidoepannja dari main bal. Pada ini wektoe di Indonesia soedah ada tjontonja, ialah Miss Riboet eftal. Orang-orang itoe hidupnja meloeloe dari permainan bal. Eftal Miss riboet itoe kaoem boeroeh, pekerdjaanja main bal. Madjikannja ialah toean Theo, Directeur Eingenaar Miss Riboet.
Apa sebabnja kita tegen pada prof voetballer. Dipandang sepintas laloe, kita disalahkan, kita kedjem, kita enz, enz.
Sebeloemnja kita mendjawab lebih landjoet, kita madjoekan terlebih dahoeloe pertanjaan kita dibawah ini: Soedah masakkah masjarakat kita oentoek mengandakan beroepsspelers? koetkah kita memberi penghidupan pada spelers-spelers itoe? Dan berapa tahoenkan orang bisa main Voetbal dengan baik?
Djawabnya: Masjarakat kita masih terlaloe moeda oentoek mengandakan beroepsspelers. Penghargaan publiek masih rendah pada voetbalspel. Boektinja penonton beloem banjak seperti penonton di loear negeri. Sesoeatoe competitie di London sampai dikondjoengi 10.000 penonton. Interstedelijke wedstrijd di kita paling banjak dikoendjoengi 4000 orang (bandoeng dan solo pernah mengalami). Competitie kita biasanja dikoendjoengi 50 gelinti penonton.
Apakah eftal Miss robert itoe meloeloe main bal sadja pekerdjaanja, kamipoen masih sangsi djangan-djangan kaloe waktoe malem masih diberi pekerdjaan lain, oempanja poetong kartjis, toekang lajar dan lain-lainja, jang berhoeboengan dengan toenoel. Teranglah disini, jang berhoeboengan dengan tooneel. Teranglah disini kalau kita beloem boleh mengadakan beroepsspelers. Entah belakang hari, tergantoeng pada masjarakat kita.
Indirect mengadakan beroepsspelers banjak terdjadi. Oempanja: seorang chief di beurau, germar pemainan bal, lalu lihat seorang voetballer, bintang lapang. Kebetoelan gadjihnja sedikit. Orang itoe, karena permananja bal, laloe dipelet, diberi pekerdjaan, jang gadjihnya lebih besar. Orang itoe laloe pindah pekerdjaan, dan mempertahankan clubnja chefnja. Poen keadaan jang begini, Masyarakat kita beloem bisa meniroe. Banjak terdjadi, pemain PSSI meninggalkan barisannja karena dilain tempat bisa dapat pekerdjaan, jang gadjihnja lebih besar. Siapa jang salah? Boekan pemain itoe, tapi masjarakat kita. Tetapi pemain sematcam ini tidak boleh diseboet beroepsspelers, karena penghidupannja tidak dari pemainan bal. Tjoema, lantaran permainannja bal bagoes, laloe dapat pekerdjaan. Extra diploma.
Dus, karena masjarakat kita beloem masak boeat mengadakan beroepsspelers, kita tegen. Bagaimana rasanja, bila soedah tidak terpaki lagi oentoek main bal, kembali kemasjarakat biasa. Seorang voetballer biasanja dipoedji-poedji dan ginding, karena kena tjilaka atau permainannja moendoer, sebab oemoernja naik laloe werkloos. Apa jang akan diboeat?
Penoetoep toelisan ini: Koetkanlah azas amateurisme, peganglah tegoeh-tegoeh amateurisme. sport tinggal sport, dan kesehatanlah yang ditoedjoe.
Esai diatas ditulis oleh salah seorang pengurus PSSI, sayangnya tak dicantumkan siapa yang menulisnya. Jujur saya senang dengan kalimat penutup dari esai diatas. “Koetkanlah azas amateurisme, peganglah tegoeh-tegoeh amateurisme” dan keinginan si penulis itu mampu dipegang teguh oleh pengurus PSSI, toh sampai sekarang, meski sudah hidup di era profesionalisme, amateurisme masih hal yang selalu melekat di PSSI.
sumber : panditfootball

Bir dan sepakbola papua


BIR DAN SEPAKBOLA PAPUA

Oleh Paul Cumming
“Pak Paul! Pak Paul!“ Terdengar teriakan keras dari lantai atas sebuah hotel di Bekasi. Mulanya saya masih mengabaikan teriakan itu. Tapi intonasi teriakan itu membuat saya sedikit panik. Lalu terdengar lagi teriakan yang lebih jelas: “Pak Paul! Adolof, Pak Paul!”
“Hah Adolof?” Saya baru sadar. Di depan seluruh pemain Perseman Manokwari yang sedang bersiap-siap berangkat ke stadion, ternyata ada satu pemain yang belum muncul. Pemain itu adalah Adolof Kabo. Saya refleks memijit-mijit kening sembari bergumam: “Aduh Adolof!”
Adolof Kabo adalah pemain kunci Perseman Manokwari saat saya melatih di sana pada 1984-1986. Sebagai seorang striker, dia penyerang yang gol-golnya amat dibutuhkan. Tapi Kabo bukan sekadar goal-getter, dia juga nyawa tim. Dengan skill individunya, yang kadang kala membuatnya terlihat egois, Kabo sering meneror pertahanan lawan seorang diri. Bersama partnernya di lini depan, Elly Rumaropen, dan pemain tengah Yonas Sawor, Kabo bisa sangat percaya diri mengobrak-abrik pertahanan lawan. Nama-nama inilah yang berhasil membawa Perseman sampai ke grand-final Divisi Utama Perserikatan 1986 menghadapi Persib Bandung.
Maka ketika saya sadar Adolof tak terlihat bersama rekan-rekannya, ditambah teriakan panik dari lantai atas, saya merasa gelisah bukan main. Padahal sebentar lagi kami harus berangat ke stadion Bekasi untuk berjuang mati-matian melawan Perseden Denpasar. Pertandingan itu amat menentukan bagi kami untuk lolos ke Empat Besar Divisi Satu 1984 yang akan digelar Bandung.
“Aduh, Adolof ini kemana, yah?”
“Mungkin dia masih di warung?” salah seorang pembantu umum (kitman) mencoba menenangkan saya.  Setelah ditunggu beberapa menit, Adolf tak kunjung datang. Imbasnya saya pun berkeringat dingin.
“Cari dia! Cepat! Cepat! Cepat! Tidak ada waktu lagi!,” teriakan saya menyentak seluruh ruangan. Dua orang pembantu umum yang terlihat kebingungan langsung berlari keluar mencari Adolof ke warung-warung terdekat.
Beberapa menit kemudian mereka berhasil menemukan Adolof. Degup jantung saya pun sedikit mereda. Syukurlah! Tapi kegugupan saya belum hilang karena Adolof tiba dengan dipapah dua pembantu umum. Adolof berjalan sempoyongan. “Duh ternyata dia mabuk!” keluh saya dalam hati.
Lantas tiba-tiba dia langsung memeluk saya. “Saya minta maaf Paul, saya baru habis sepuluh botol besar,” ucap Adolof sambil meringis dengan air mata berlinang. Tampaknya dia merasa sangat bersalah.
“Adolof masih bisa main?” saya tanya dia baik-baik.
“Bisa, Paul. Walaupun saya mabuk saya janji cetak gol dan kita akan menang dan saya janji saya tidak akan minum lagi sampai kita juara di Bandung!”
“Okay Adolof. Saya percaya sama Adolof. Sekarang cepat pakai kostum karena kami menunggu Adolof untuk ikut doa sebelum ke lapangan,”
Sampai  ke stadion Adolof masih loyo, langkahnya masih gontai. Dia masih belum memisahkan dunia nyata dengan alam bawah sadarnya. Waktu pemanasan dia malah sempat dua kali jatuh terpeleset membuat orang terheran-heran melihatnya. Saya sedikit ragu kepada dia, tapi saya percaya janji Adolof pada saya. Karena itulah saya pasang dia sebagai starter. Intinya dia harus berjuang dari awal.
Degup jantung saya mengencang sepanjang pertandingan, terutama saat melihat Adolof Kabo di lapangan. Duh! Masalahnya selama pertandingan dia berlari agak miring dan oleng sempoyongan. Tanpa di-tekel atau di-body charge lawan pun Adolof beberapa kali jatuh karena keseimbangannya yang setengah sadar.
Tetapi siapa sangka tiba-tiba dia mencetak gol yang sangat spektakuler lewat shooting jarak jauh dari jarak 30 meter. Kami pun menang 1-0 hingga bisa lolos ke 4 Besar di Bandung. Kejadian ini tak pernah saya lupakan, karena baru pertama kalinya saya lihat orang setengah sadar bisa cetak gol.
Cerita kemudian berlanjut di Bandung. Sampai ke Bandung saya sangat kecewa karena oleh panitia kami dan tiga tim lainnya ditempatkan dalam satu barak militer yang sama. Saya langsung melarang pemain turun dari bus. PS Bengkulu juga menolak tinggal di komplek militer itu dan memilih sebuah hotel yg sangat mewah.
Panitia marah-marah kepada saya, tetapi saya jelaskan kalau tim saya dari PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan darat) saya pasti setuju di situ, tapi kami tim bola sipil bukan militer. Mendengar alasan itu mereka panggil saya “Cowboy Cumming” .
Saya tak peduli omelan itu karena sesuai dengan prinsip saya kalau sebuah tim mau berhasil harus dalam keadaan gembira. Tinggal di barak militer, kami tentu tak akan gembira. Beruntung akhirnya kami dapat tempat di Balai Latihan Departemen Tenaga Kerja, di mana situasi sangat kondusif apalagi masyarakat disitu sangat-sangat ramah.
Bagi saya, bermain bola dengan kegembiraan, dengan hati yang senang, adalah kunci untuk memunculkan permainan maksimal anak-anak Perseman. Sepakbola adalah kebahagiaan, kesenangan, dan suka cita. Jika bermain dengan tertekan, sukar akan mendapatkan hasil yang diinginkan.
Ternyata kegembiraan suasana selama di situ membuat hasil yang positif dan Perseman keluar sebagai juara. Asal tahu saja, sebelum babak empat besar, semua pemain termasuk Adolof berjanji untuk tidak minum alkohol sampai kami menerima trofi  juara Divisi Satu. Saya sudah bilang sama mereka, “Kalau kalian janji tidak minum sampai kita juara, malam setelah juara kalian bebas dan boleh minum sepuas-puasnya.”
Dan ternyata janji itu mereka penuhi. Maka sesudah mengalakan PS Bengkulu 3-1 di final. Mereka langsung menagih janji itu. Saya menepati janji saya untuk membiarkan mereka larut dalam pesta pora.
Besoknya pagi-pagi saya sudah gelisah di hotel. Beberapa jam sebelum ke stasiun untuk pulang, para pemain masih banyak yang hilang entah ke mana. Untungnya beberapa mahasiswa asal Papua membantu kami mencari pemain di tempat-tempat hiburan. Beruntung sebelum kereta berangkat ke Jakarta semua pemain sudah ada di atas kereta walaupun sebagian dari mereka masih kurang sadar!
Melihat mereka saya tak pernah marah, saya tahu bahwa bir dan sepakbola di Papua memang sulit dipisahkan. Saran saya kepada pelatih yang hendak melatih klub-klub Papua harus mengerti masalah itu. Jika mau berhasil turuti saran saya itu. Soalnya amat jarang pemain Papua yang tidak suka minum, karena itu sudah bagian dari tradisi di sana.
Saya masih ingat ketika Adolof dikirim ke Brasil oleh PSSI. Sesudah agak lama di Brasil dia kembali ke Manokwari. Setelah sampai di Manokwari dia langsung mendatangi saya yang waktu itu sedang memimpin latihan Perseman di lapangan Borassi.
Ketika saya sedang asyik-asyik di tepi lapangan tiba-tiba saja Adolof berlari dan memeluk saya.  Langsung saya tanya dia tentang pengalaman dia selama di Brasil. Maksud saya bertanya soal ilmu sepakbola yang dia dapat disana. Tapi jawabannya ternyata berbeda. Adolof malah menjawab dengan senyum khasnya  “Aduh Paul! Bir di Brasil tidak enak!”
“Aduh Adolof!”
Ada juga cerita lucu lainnya. Saat itu Perseman sedang berlaga di Divisi Utama Perserikatan tahun 1985.
Waktu itu tiba-tiba saja Solichin GP (Ketua umum  Persib Bandung) membuat acara makan bersama antara pemain Persib dan Perseman Manokwari di restoran Lembur Kuring Senayan. Saya pikir acara itu adalah acara permintaan maaf Solihin kepada saya, mengingat sebelumnya dia pernah meminta PSSI untuk mendeportasi saya hanya gara-gara Jonas Sawor mendorong Adjat Sudrajat ketika Persib jumpa Perseman di putaran 12 besar
Dalam acara makan-makan tersebut, pihak Persib amat sangat ramah. Entah itu taktik atau apa, yang jelas para pemain Perseman diberikan masing-masing 5 botol bir besar. Para pemain Persib tak lama-lama di sana mereka pulang duluan. Tapi Pemain Perseman tetap di tempat karena botol-botol yang ada belum habis.
“Alamak!” mereka lupa bahwa para pemain Persib cepat-cepat pulang karena keesokan harinya akan melawan Persija Jakarta. Dan yang lebih parahnya lagi, sebelum Persib bertanding di Stadion Senayan malam hari, sorenya Perseman harus melawan PSP Padang.
Kalau tidak salah, gara-gara pesta itu, banyak pemain yang mabuk berat dan begadang sampai pagi. Ada berapa pemain inti tidak bisa turun, termasuk Adolof karena cedera. Mau tak mau saya menurunkan pemain pas-pasan, apalagi banyak di antara mereka masih di bawah pengaruh alkohol. Beruntung Sem Aupe mampu menggantikan posisi Adolof sebagai striker dengan baik.
Pertandingan berjalan lancar dengan semangat  tinggi. Hanya waktu istirahat di ruang ganti saya tidak memberikan intruksi kepada mereka. Sebagian pemain memilih tidur dan harus dibangunkan lagi untuk babak kedua. Meski terlelap sebentar, Perseman di luar dugaan menang 2-1.
—————————————————
Catatan editor:
Dalam naskah buku yang akan terbit [Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan] yang disusun oleh Aqwam Fiazmi Hanifan, ada kisah tambahan yang menarik mengenai Perseman dan bir yang tak sempat dikisahkan Paul di tulisannya ini. Wawancara Aqwam dengan Achwani, Sekretaris Umum Persib di saat Persib bertemu Perseman di Grand Final Divisi Utama 1986, menjelaskan bagaimana Persib dengan cerdik menggunakan kebiasaan minum pemain Perseman ini.
Menurut Achwani, salah seorang pengurus diberi tugas untuk memancing para pemain Perseman keluar dari kamar hotel untuk ditraktir minum sepuasnya di salah satu bar. “Saya diberi tugas untuk kasih mereka berkrat-krat bir supaya mereka mabuk berat dan tak tidur, ternyata benar saja, ternyata di malam itu misi saya sukses, mereka mabuk dan sama sekali tak istirahat, padahal besoknya mau bertanding lawan Persib,” ucap Achwani.
Hal ini diakui oleh Paul Cumming. Ia mengakui kelemahannya anak asuhnya selalu dimanfaatkan oleh lawan, hampir semua lawan Perseman, bukan hanya Persib.
Dalam laporan Pikiran Rakyat edisi 19 Januari 1985, Adolf Kabo mengakui bahwa minum-minum adalah tradisi yang biasa mereka lakukan bersama rekan-rekannya. Saat itu Perseman baru saja bertanding melawan PSMS dengan skor akhir 1-1. Saat berbicara pada wartawan ketika itu, Adolf sempat memperlihatkan tumpukan kaleng bir. [@zenrs]

Penulis adalah mantan pelatih sepakbola di berbagai klub Indonesia. Kini bergabung dengan Pandit Football Indonesia sebagai penulis tamu. Akun twitter @papuansoccer

Thursday, August 21, 2014

Mencoba Membandingkan Barito Putera musim lalu dengan Musim Ini

Barito Putera namanya kian melambung semenjak menjuarai Divisi Utama 2011/2012 deengan mengaahkan Persita Tangerang deengan skor 2-1. Barito Putera yang ikut Promosi ke ISl 2012/2013 hanyalah sebuah medioker yang tidak diunggulkan dalam perolehan juara. Barito mengikuti turnamen tidak dengan pemain mahal layaknya Persib & Arema. Barito Putera datang mengikuti kompetisi dengan sebuah catatan manis yaitu, tidak pernah kalah dikandang selama 2 musim, iyaa saat mengikuti Divisi 1 dan Diviisi Utama. Anak asuh Salahuddin itu merasa tidak terbebani dengan rekor tersebut dan berusaha memperpanjangnya. Barito tidak jor jooran dalam membeli pemain. Terbukti mereka hanya mendaangkan nama2 yang belum melambung di kancah sepakbola nasional. Namun kejeniusan Salahudin mereka mampu berbicara banyak di Liga, salah satunya melanjutkan rekor tidak terkalahkan dikandang sendiri dan mematahkan rekor positif sang juara Persipura. Permainan Barito musim lalu bisa dibilang sangat ngotot, mengandalkan umpan satu-dua dan mengandalkan kecepatan Dedi Hartono, Kejeniusan seorang Makan Konate dan ketajaman seorang Djibril Coulably. Hasilnya Djibril Coulibaly mampu mencetak 21 Gol, padahal ini musim pertama Djibril di ISL. Rapatnya pertahanan yang di galang Henry Njobi Elad dan Daewon Ha mmembuat Barito sedikit kebobolan hanya kalah dari Persipura dan Arema. Ditambah dengan cerdiknya Mekan Nasyrov menjadi seorang jangkar dilini tengah Barito. walau hanya bercokol di posisi 6 klasemen akhir rasanya ini merupakan kebanggaan tersendiri buat Barito. dimana mereka mampu bersaing, membuat banyak rekor dan berbicara banyak padahal ini musim pertama Barito di ISL. 

Memasuki musim 2013/2014 Barito ditinggal banyak pemain Bintang nya. Duo Mali (Konate dan Djibril) yang ke Persib. Oktovianus yang ke Perserui, Henry Njobi yang ke Martapura FC, mekan Nasyrov yg tidak diperpanjang kotrak nya. dengan ditinggal banyak pemain adalan di musim lalu Barito bergerak cepat membei pemain untuk menisi slot di  skuad nya. Abanda Herman, James Koko Lomel didatangkan. Banyak nya pemain incaran Barito yang gagal membuat Barito pusing mencar striker handal yg mematikan. Barito hanya mampu mencetak 23 Gol musim ini dengan 19 penampilan, berbanding dengan musim lalu dengan 55 gol dalam 34 penampilan. Tidak ada kengototan bermain, bermain malasmalasan membuat Barito terpuruk. Buruknya penyelesaian akhir para stiker disinyalir menjadi penyebab dan Kroposnya gelandang yang ditinggalkan mekan sbelum bergabun pada putaran kedua juga menjadi penyebab. Lucky wahyu yang diplot menggantikan Mekan belum bisa menggantikan nya. Buruknya duet Daewon Ha dgn Abanda membuat Barito menjadi lumbung gol lawan nya. Barito hanya mampu meraih 6 kemenangan musim ini dengan 9 kekalahan dan 3 kali imbang. Bisa dibilang musim ini gagal buat Barito tetapi saya sangat yakin musim depan Barito mampu berbicara banyak lagi :).


Menurut banyak s=kalangan kegagalan Barito musim ini karena banyak faktor, yaitu :

1. Kompetisi ISL mejadi 2 wilayah, dan Barito masuk ke Barat yg notaben nya masuk wialayh timur 
2. Manajer belum siap belanja pemain
3. Manajer terlalu sibuk dengan ikut2an mengurusi kelompok suporter :)
4. manajer terlalu sibuk buat berkampanye, dan pemain diikutkan dalam kampanye pemilu :)

sekian ketikan jemari saya, semoga Barito Putera cepat merotasi skuad nya, banyak pemain yang tidak layak bergabung dengan barito, Semoga Barito berjaya lagii musim
depan! :)
#WeBelieveSalahudin #BaritoWeLoveYou








Wednesday, August 20, 2014

selebrasi poznan

article-2512484-199AB5C400000578-45_634x435
Selebrasi Poznan ini pun mulai mewabah di liga Inggris. Cardiff City adalah salah satu tim yang menirukan ‘selebrasi Poznan’ pada laga kandangnya, termasuk saat Cardiff City mengalahkan Citizen 3-2 pada Agustus 2013.
Selebrasi ini sebenarnya lebih dulu dilakukan oleh klub Australia, Western Sydney Wanderers, yang menamai mereka The Red and Black Bloc. Mereka melakukannya saat pertandingan pertama mereka yang berlangsung di Sydney pada tahun 1880. Setelah itu, beberapa stadion di dunia mulai menirukan gerakan yang menyerupai gelombang air tak beraturan ini.
Sementara itu, suporter Glasgow Celtic pun melakukan gerakan serupa selebrasi Poznan. Namun mereka menamai gerakan tersebut dengan sebutan ‘The Huddle” karena “The Huddle” tak memiliki keterkaitan dengan tarian ala Poznan. Mereka saling merangkul satu sama lain dan membelakangi lapangan sambil meneriakkan “Let’s Do The Huddle!”.
Di Indonesia juga sering melakukan selberasi ini seperti Aremania, NDYB x Barito(sekarang NORTH SIDE FIRM), BCS1976
“The Huddle” yang pertama kali dilakukan pada 2009 ini lebih ditujukan untuk memperingati momen di mana Tony Mowbray, pelatih Celtic saat itu, yang memperkenalkan gerakan merangkul pemain lain sambil melingkar sebelum pertandingan dimulai ketika ia masih berstatus sebagai pemain Celtic pada tahun 1991-1995.

Timnas U-19: Terbang Tinggi, Dikomersialisasi dan Menghujam Jatuh ke Bumi?

Timnas U-19: Terbang Tinggi, Dikomersialisasi dan Menghujam Jatuh ke Bumi?


Apa yang ditakutkan penggemar sepakbola Indonesia akhirnya tersaji pada Senin (11/8) malam. Ialah Brunei Darussalam, yang menjungkalkan Timnas U-19 “Garuda Jaya” dengan skor mencolok 3-1. Penampilan apik saat menghadapi timnas U-21 Malaysia membuat Timnas U-19  ini mungkin terlalu terbang tinggi dan lupa membumi, hingga alfa menganggap bahwa lawan yang mereka hadapi adalah tim yang biasa-biasa saja.
Sebenarnya tim yang diturunkan Brunei tadi malam adalah tim yang mengikuti kompetisi rutin Liga Singapura dengan nama DPMM Brunei FC.  Prestasi klub ini di Singapura pun tak boleh dipandang sebelah mata, mereka mampu menjuarai S-Leaque tahun 2013 silam.
Kekalahan bagi timnas U-19 Ini merupakan sebuah pelajaran Badan Tim Nasional (BTN), setelah menjadi juara Piala AFF U-19 yang digelar pada 2013, skuat asuhan Indra Sjafri begitu dielu-elukan. Wajah mereka begitu sering nampang di televisi. Terlebih, saat mereka berhasil lolos ke Piala Asia U-19 yang akan digelar di Myanmar pada Oktober mendatang. Harapan baru pun tumbuh dalam hati masyarakat Indonesia. Permainan cepat dari kaki ke kaki, menunjukkan bahwa inilah tim Indonesia yang diimpikan sejak lama. Timnas U-19 adalah skuat impian.
Setelah momen itu, terasa sekali bagaimana timnas U-19 di-komersialisasi oleh PSSI. Mereka kini adalah artis lapangan hijau. Maka, jangan salahkan jika PSSI ingin memanfaatkan momentum tersebut dengan mencari tambahan pemasukan.
Ini yang membuat PSSI menggelar tur nusantara dalam rangka mengakomodasi kehebatan timnas U-19 tersebut. Tidak tanggung-tanggung, PSSI menggelar tur nusantara hingga dua jilid,  tujuan dari PSSI mungkin bagus, karena PSSI ingin agar skuat U-19 terus terasah dengan menghadapi lawan yang secara usia lebih tua. Tapi, karena jadwal yang ketat, serta kualitas lawan yang jauh berada di bawah, maka tur nusantara ini tak lebih dari pertunjukkan sirkus belaka.
Bagaimana bisa, tim yang diproyeksikan menjadi masa depan sepakbola Indonesia, hanya bermain imbang menghadapi tim Pra-PON Jawa Barat? Padahal, skuat Pra-PON Jawa Barat baru bergabung seminggu sebelumnya. Lini belakang timnas pun kerap kerepotan dengan pemain yang masih berusia 16 tahun, Gian Zola.
Dalam tur nusantara, terlihat adanya perubahan komposisi pemain yang dilakukan pelatih Indra Sjafri. Lini tengah yang biasanya dihuni trio Evan Dimas, Hargianto, dan Zulfiandi, kini tak selalu demikian. Paulo Sitanggang lebih sering mengisi pos tersebut. Padahal, trio tersebut sudah terbukti kekompakannya dalam ajang Piala AFF dan kualifikasi Piala AFC.
Selain itu, dengan banyaknya pertandingan yang disiarkan televisi, ini akan memudahkan lawan untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan timnas. Berbeda dengan Indra Sjafri yang sebelum pertandingan bisa saja berkata, “Kami buta kekuatan lawan”
BTN mestinya belajar pada timnas Malaysia U-21 dan DPMM Brunei FC yang mengikuti kompetisi S-League, mengingat mereka mendapatkan atmosfer kompetisi yang sesungguhnya.
Kekuatan Indonesia sebenarnya ada pada semangat yang digelorakan pada pemain. Lihat ketika mereka mengalahkan Korea Selatan 3-2. Bagaimana para pemain tampil begitu bersemangat dan tidak malas-malasan.
Mungkinkah tur nusantara malah membuat Evan Dimas dan kolega jenuh? Mengapa saat tur nusantara, bukan lawan saja yang datang ke pusat latihan timnas di Yogyakarta?
Memang, PSSI akan mendapatkan keuntungan besar dari tur nusantara tersebut, tapi mengorbankan timnas U-19 bukanlah jawaban. Kini di HBT, kekhawatiran itu akhirnya terungkap. Kekalahan atas Brunei Darussalam seolah menjadi titik balik permainan dan semangat skuat Indra Sjafri. Ada kalanya rendah hati lebih baik ketimbang dipanding tinggi hati, toh optimisme yang berlebihan beda tipisnya dengan keangkuhan. Jangan sampai ekspetasi yang berlebihan malah jadi boomerang bagi timnas U-19, Yang jelas, semoga di Piala AFC Oktober nanti, timnas bisa memerlihatkan permainan terbaik

sumber pandit