Tuesday, August 13, 2013

RACISME


Pengertian Rasisme
Rasisme adalah segala bentuk pemikiran, ucapan baik lisan maupun tertulis, perilaku dan tindakan yang berdasar kepada sebuah kepercayaan bahwa manusia terbagi atas ras, suku, keturunan, agama dan kebangsaan yang menunjukan unsur baik-buruk, terhormat-hina, superior-inferior, menguasai-dikuasai.

Singkatnya, rasisme adalah jika kita menganggap orang atau sekelompok orang lain lebih buruk daripada kita karena perbedaan ras, suku, keturunan, agama dan kebangsaannya. Rasisme selalu mengacu kepada hal-hal yang berada di luar kekuasaan manusia untuk menentukan. Kita tidak pernah dapat memilih dari ras apa kita dilahirkan, dari suku bangsa apa, dari orangtua beragama apa dan dari kebangsaan apa. Menghina, melakukan diskriminasi apalagi melakukan kekerasan hanya karena perbedaan-perbedaan tadi, itulah rasisme.

Yahudi dan Malaysia
Marilah kita ambil contoh beberapa kejadian hangat. Pertama, tentang masuknya konflik Palestina-Israel ke sepakbola. Membela berdirinya negara Palestina (Palestina Merdeka/Free Palestine) adalah bukan rasis, itu sikap politik yang memperjuangkan hak tiap bangsa untuk merdeka. Mengkritisi politik luar negeriIsrael yang menekan dan melanggar HAM bangsa Palestina, itu juga bukan rasis. Jangankan negara lain, kita pun sering mengkritisi pemerintah kita sendiri untuk pembiaran pelanggaran HAM.

Tetapi memaki Yahudi, apalagi menggunakan kata-kata kasar, kotor dan mengeluarkan perbendaharaan koleksi kebun binatang, itu jelas rasis. Yahudi adalah sebuah ras, sebuah bangsa dan agama. Menjadi seorang Yahudi bukan pilihan tetapi keniscayaan, seperti halnya kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari orangtua berkebangsaan Indonesia.

Kedua, tentang Indonesia-Malaysia. Membela bangsa kita dari pelanggaran hak cipta dan HAM, bukan rasis, itu mulia. Mengkritisi Kerajaan Malaysia atas pembiaran terhadap hal tersebut juga bukan rasis. Tetapi menghina, memaki bangsaMalaysia, memelesetkannya menjadi malingsia, alaysia dan sejenisnya, itu jelas rasis.

Sukai atau bencilah seseorang atau sekelompok orang karena APA YANG DIPERBUATNYA, bukan karena SIAPA DIA.

Anti-Rasisme
Kini ada momentum bagi kita untuk mendeklarasikan diri bahwa Laziali bukan rasis. Mari kita proklamasikan diri kita bahwa kita anti-rasis. Menjadi seorang anti-rasis tidak sekedar mengirimkan foto kita yang “nyengir” sambil memegang sehelai kertas bertuliskan “No Racism”. Konsekuensinya, kita harus meninggalkan segala ucapan, tulisan dan sikap rasis secara total. Kalau kita bangga menyatakan diri sebagai anti-rasis, tetapi masih memaki Yahudi dan bangsa Malaysia, maka komitmen kita jelas mendua. Kita tidak percaya pada penggunaan standar ganda. Kita tidak membalas tindakan rasis dengan balasan rasis juga. Karena kita juga akan menjadi rasis.

Menjadi seorang rasis, itu sudah cukup buruk. Kalau ditambah lagi dengan sikap munafik, bukan hanya buruk, tetapi parah. Cukup beranikah kita untuk mendeklarasikan diri sebagai Anti-Rasis dan konsekuen dengan segala tindakan kita? Kita sendiri yang bisa menjawabnya dengan tindakan nyata.

Fakta dan Mitos: Ultras, Kekerasan dan Rasisme

Fakta dan Mitos: Ultras, Kekerasan dan Rasisme

foto dari http://ultraslazio.it
 Pengantar:
Ini bagian kedua dari tiga artikel tentang klutur Ultras di persepakbolaan Italia. Bagian kedua ini akan mengulas tentang distorsi, ekses dan kesalahpahaman pengertian tentang Ultras. Merupakan kelanjutan dari bagian pertama, “Ultras, A Way of Life”. Bagian ketiga, “Irriducibili Tak Pernah Mati” akan secara khusus mengulas lahir, berkembang dan bubarnya kelompok Ultras paling fenomenal di Italia, Irriducibili Lazio. Meskipun demikian, masing-masing bagian artikel dapat dibaca secara mandiri.

*****
Dalam perkembangannya, sikap, nilai-nilai dan mentalitas Ultras ini (lihat bagian pertama), mengalami distorsi pada penerapannya. Distorsi ini terjadi di dua ranah. Di kalangan Ultras sendiri, distorsi perilaku Ultras menyebabkan timbulnya ekses yang tidak diinginkan. Di kalangan pengamat, ekses tersebut berujung pada generalisasi Ultras dan pencampuradukan antara Ultras dengan fenomena lain yang sebetulnya tidak berkaitan. Timbullah mitos-mitos menyesatkan tentang Ultras.

Media berbahasa Inggris, yang lebih menguasai dunia dibandingkan media berbahasa Italia, memiliki andil sangat besar dalam penyebarluasan mitos-mitos ini. Fenomena yang terjadi di Inggris dikaitkan secara naif dengan pengamatan dan pengalaman terhadap hal-hal eksesif yang terjadi di persepakbolaan Italia.

Mitos Pertama: Ultras Identik dengan Kekerasan
Hingga awal tahun delapanpuluhan, gerakan Ultras di persepakbolaan Italia cukup mengundang decak kagum dunia. Nilai dan mentalitas yang menjunjung tinggikehormatantotalitasloyalitas dan solidaritas (serta independensi) di kalangan Ultras memberi nilai tambah pada sepakbola itu sendiri. Sepakbola tidak lagi sekedar olahraga dan pertunjukkan kebolehan pemain di lapangan, tetapi juga melibatkan puluhan ribu penonton di tribun stadion. Pertunjukan tidak lagi berakhir setelah peluit panjang wasit berakhir, tetapi berlanjut pada kehidupan sehari-hari. Sepakbola telah menjadi sebuah ekspresi spiritual.

Kekerasan antar-Ultras memang tidak terhindarkan. Sesekali terjadi konflik antara pendukung yang berujung pada kekerasan. Tetapi kekerasan memang dapat saja terjadi, di kalangan Ultras atau bukan, di sepakbola atau di aspek kehidupan lain, di komunitas manapun, di negara manapun. Dan sejauh itu, ekses Ultras ini hanya terjadi di Italia, belum lagi menyentuh ke luar batas negara. Ultras mengalami masa keemasan.

Seiring booming sepakbola Italia, klub-klub Italia secara masif bersentuhan dengan sepakbola Eropa. Di sinilah bencana berawal. Tahun 1977 kelompok-kelompok kecil pendukung AS Roma membentuk Commando Ultra Curva Sud (CUCS), sebuah kelompok Ultras yang tertata rapi dan terorganisasi. Awal tahun 1982 kelompok ini terbagi dalam beberapa faksi yang tak terkendali. Mereka inilah yang bertanggung jawab terhadap runtuhnya citra Ultras.

Diawali dengan terbunuhnya pendukung Lazio, Vicenzo Paparelli, pada derby 1979 oleh pendukung AS Roma. Tahun 1984, lusinan pendukung Liverpool mengalami penikaman usai Liverpool mengalahkan AS Roma di final European Cup, bahkan juga terhadap pendukung Liverpool dari kalangan keluarga yang sedang berjalan kembali menuju hotel, termasuk seorang bocah 13 tahun. Kejadian inilah yang menjadi katalis terjadinya tragedi Heysel setahun kemudian, dan yang menjadi korban tak berdosa dari aksi balas dendam ini adalah pendukung Juventus.

Februari 2001, 14 pendukung Liverpool kembali mengalami penikaman saat Liverpoolbertanding melawan AS Roma di laga UEFA Cup. Desember 2001, 5 pendukungLiverpool mengalami hal yang sama saat kedua tim bertemu di laga Liga Champions. Tahun 2006, 13 pendukung Middlesborough mengalami luka serius, 3 di antaranya ditikam, saat kedua tim bertemu di laga UEFA Cup. Tahun 2007, 13 pendukung Manchester United luka parah, 3 di antaranya ditikam, pada laga Liga Champions. Dua tahun kemudian giliran seorang pendukung Arsenal yang mengalami hal yang sama. Semua terjadi di kota Roma dan dilakukan oleh pendukung AS Roma.

Media Inggris segera menjuluki Roma sebagai “Stab City” (kota penikaman), dan melakukan generalisasi terhadap semua kelompok Ultras di Italia. Mereka menyamakan Ultras Italia dengan kelompok perusuh sepakbola Inggris, hooligans. Padahal, sesungguhnya, Ultras bertolak belakang dengan hooliganisme.

Ultras bertujuan mendukung klubnya, sedang hooligans bertujuan menyerang pendukung lawan. Ultras terorganisasi, bangga dengan identitas klubnya dan mengenakannya setiap saat, sedangkan hooligans tidak terorganisasi dan cenderung menyamarakan identitasnya..

Apa daya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Akibat kejadian-kejadian di atas, kini Ultras Italia selalu diidentikkan dengan kekerasan.

Mitos Kedua: Ultras Identik dengan Rasisme
Ultras tidak steril terhadap politik. Justru latar belakang sosial dan politik tertentulah yang menjadi pengikat terkuat sebuah kelompok Ultras. Ultras yang “beraliran” kanan seperti pendukung Lazio, Internazionale atau Hellas Verona sangat kental dengan paham kekananan ini. Maka rasisme muncul, meskipun dalam kelompok-kelompok kecil dan minoritas. Dari kelompok-kelompok minoritas ini pun, hanya sebagian kecil yang intinya benar-benar kebencian terhadap ras berbeda, lainnya hanyalah ekspresi bodoh fans untuk menjatuhkan mental lawan.

Yang disebut belakangan tadi sangat jelas terlihat, saat mereka mengekspresikan tindakan “rasis” terhadap pemain berkulit hitam dari pihak lawan, tetapi justru memberikan dukungan bagi pemain berkulit hitam dari klub sendiri.

Kesalahpahaman lain muncul dengan menyamakan paham fasisme dengan rasisme, padahal keduanya adalah dua hal yang sangat berbeda. Di kalangan kanan Italia, masih sangat kuat mengalir paham fasisme yang dicetuskan oleh Benito Mussolinimenjelang Perang Dunia Kedua. Fasisme adalah paham yang ultra-nasionalis, anti-liberalisme, anti-komunisme, menentang investasi asing dan penjualan aset Italia (termasuk klub) ke investor non-Italia. Mussolini dan Hitler sama-sama fasis, tetapi berlainan dengan Hitler, Mussolini tidak rasis.

Dua kesalahpahaman inilah yang menimbulkan mitos bahwa, misalnya, Ultras Lazio adalah rasis. Media Inggris berpatokan pada dicemoohkannya Fabio Liverani di awal karirnya di Lazio oleh pendukung Lazio sendiri. Padahal, perlakuan itu diterima Liverani karena, sebelum bergabung dengan Lazio, dia pernah secara terbuka mengatakan dirinya fans AS Roma, bukan karena Liverani berkulit hitam. Antonio Candreva mengalami hal yang sama akibat rumor dirinya pendukung AS Roma di masa remaja. Padahal Candreva berkulit putih. Mundingayi, Dabo, Manfredini, Diakite, Makinwa, Cisse, Konko, Cavanda, Onazi dan pemain berkulit hitam Lazio lainnya tak pernah mengalami perlakuan rasis dari pendukungnya sendiri.

Salam Paolo Di Canio yang mengangkat tangan kanannya sebagai selebrasi golnya, disalahartikan oleh media Inggris sebagai salam ala Hitler yang rasis. Padahal salam itu sesungguhnya adalah salam khas Romawi yang dijiplak Hitler, yang merasa dirinya setara kaisar Romawi. Di Canio menegaskan, bahwa dirinya memang fasis, tetapi bukan rasis.

Jadi Ultras memang memegang teguh kehormatan, totalitas, loyalitas, solidaritas dan independensi. Tetapi Ultras sejati adalah anti-kekerasan dan anti-rasisme !!

Ultras, A Way of Life

Ultras, A Way of Life


foto dari http://ultraslazio.it
Pengantar:
Ini bagian pertama dari tiga artikel tentang klutur Ultras di persepakbolaan Italia. Bagian pertama ini akan lebih banyak mengulas pengertian dan nilai-nilai Ultras serta kehadiran mereka di Italia. Bagian kedua, “Ultras, Kekerasan dan Rasisme” akan saya unggah beberapa hari lagi, dan bagian ketiga, “Irriducibili Tak Pernah Mati” akan secara khusus mengulas lahir, berkembang dan bubarnya kelompok Ultras paling fenomenal di Italia, Irriducibili Lazio. Meskipun demikian, masing-masing artikel dapat dibaca secara mandiri.



*****
Sebelumnya, pendukung suatu klub bersifat individualis, sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil. Mereka mungkin saja patriotis di stadion, tetapi identifikasi dan simbolisasi diri pendukung terhadap klub berhenti begitu laga usai dan lampu stadion dipadamkan. Mereka bersifat anonim dan sama sekali bukan merupakan bagian spiritual dari klub.

Kata Ultras dimaknai sebagai lebih, sangat, luar biasa atau ekstrem. Dalam sepakbola Ultras mengacu kepada kelompok pendukung atau fans yang terorganisasi, memiliki kode berperilaku yang bersifat komunal, cenderung eksklusif serta memiliki identitas yang kuat serta loyalitas tak terbatas kepada tim sepakbola yang didukungnya. Ultras lebih daripada sekedar hadir di stadion dan memberi dukungan, ultras adalah sebuah totalitas mental, sikap dan perbuatan dalam mendukung klub, di dalam dan di luar stadion, saat ada dalam kelompok dan saat sendiri, saat menang dan saat kalah, saat klub di puncak kejayaan dan saat klub di nadir keterpurukan. Maka, empat nilai penting pada Ultras adalah kehormatan, totalitas, loyalitas dan solidaritas.

Cikal Bakal Ultras
Kelompok Ultras pertama di dunia terbentuk justru bukan untuk mendukung sebuah klub, melainkan untuk mendukung tim nasional. Torcida Organizada terbentuk di Brasil tahun 1939 untuk mendukung timnas mereka. Perang Dunia Kedua yang melanda Eropa membuat gagasan Ultras ini sedikit terlambat berkembang ke benua biru. Barulah pada 1950 Ultras pertama Eropa lahir di Yugoslavia, ketika pendukung klub Hajduk Split membentuk Torcida Split.

Hanya butuh waktu satu tahun, gagasan Ultras ini masuk ke Italia. Tahun 1951 lahirlah Ultras pertama di Italia, Fedelissimi Granata yang mendukung klub Torino. Fenomena Ultras ini makin meluas di Italia. Maka bermunculanlah kelompok Ultras seperti Fossa dei Leoni (Milan, 1968), Boys LFN (Internazionale, 1968), Ultras Sampdoria (Sampdoria, 1969) Commandos Monteverde Lazio/CML (Lazio, 1971), Yellow-blue Brigade (Hellas Verona, 1971), Viola Club Viesseux(Fiorentina, 1971), Ultras Napoli (Napoli, 1972), Griffin Den (Genoa, 1973), For Ever Ultras (Bologna, 1975), Black and Blue Brigade (Atalanta, 1976), Fossa dei Campioni dan Panthers (Juventus, 1976), dan Commando Ultra Curva Sud/CUCS (Roma, 1977).

Modus operandi terbentuknya kelompok-kelompok ini beraneka-ragam. Menggabungkan kelompok-kelompok kecil yang sudah ada sebelumnya, dari sosialisasi di cafe atau bar, kelompok di sekolah atau kampus, komunitas suatu area geografis tertentu, partai politik dan sebagainya. Usia mereka saat terbentuknya kelompok ini biasanya berkisar antara 15-25 tahun.

Kelompok-kelompok pertama yang terbentuk di atas biasanya tidak bertahan lama. Kelompok baru dari klub yang sama bermunculan, bersaing dan menyisihkan yang sebelumnya. Atau, beberapa kelompok melakukan merger. Dipenjarakannya tokoh-tokoh suatu kelompok Ultras akibat kerusuhan  juga sering menjadi pemicu bubar. Hal yang paling sering terjadi adalah perpecahan dalam suatu kelompok akibat masuknya kepentingan partai politik yang memanfaatkan kekuatan Ultras, komersialisasi Ultras dalam memproduksi dan menjual merchandise, atau masuknya kelompok “swing ultras” alias para “glory hunters”. Mereka yang disebut terakhir ini adalah pendukung yang berpindah klub seiring naik-turunnya prestasi klub, sehingga melunturkan nilai-nilai Ultras itu sendiri. Fossa dei Leoni hingga kini tercatat sebagai Ultras yang paling lama bertahan (1968-2005).

Regenerasi anggota pada kelompok Ultras biasanya dilakukan secara turun-temurun dalam keluarga, dalam suatu institusi sosial-budaya seperti sekolah, kampus, klub-klub hiburan dan sebagainya. Penanaman nilai-nilai Ultras ini berlangsung sejak usia dini secara alamiah

Independensi
Nilai penting lain yang dianut Ultras adalah independensi. Nilai terakhir ini secara masif diperkenalkan oleh Irriducibili Lazio yang terbentuk tahun 1987. Penerapan independensi membatasi loyalitas Ultras hanya kepada tim atau para pemain, dan mengambil posisi independen terhadap pihak lainnya termasuk partai politik, sponsor dan terutama terhadap manajemen klub.

Setelah hadirnya Irriducibili Lazio, maka Ultras di Italia tersegregasi menjadi Ultras Keras dan Ultras Lunak. Kelompok keras akan menolak bantuan dalam bentuk apapun dari manajemen klub, mereka mandiri secara finansial, mengeluarkan uang pribadi untuk tiket dan biaya perjalanan dari kota ke kota mengikuti para pemain yang bertanding serta untuk memproduksi peraga (tifo) dalam stadion. Tak heran, fans Lazio misalnya, dapat bersikap sangat konfrontatif terhadap manajemen Lazio sendiri demi kepentingan pemain dan tim, yang diyakininya. Kelompok Ultras keras ini bersikap protektif membela pemain dan memprotes kebijakan manajemen klub saat prestasi kub melorot.

Kelompok lunak ini cenderung sejalan dengan manajemen klub dan sangat bergantung pada manajemen klub dalam hal pendanaan untuk keperluan spanduk atau bendera, penyediaan sarana gudang atau sekretariat, diskon tiket dan bahkan penyediaan sarana transportasi. Kelompok Ultras dari Juventus misalnya, sebagian besar terdiri dari keluarga dan kerabat pabrik mobil Fiat dan pemasoknya, mereka dikoordinasi dan dibiayai oleh keluarga besar Agnelli. Sementara kelompok Ultras di Internazionale memiliki hubungan finansial yang erat dengan keluarga besar Moratti. Beberapa kelompok bahkan memakai nama sang taipan minyak Italia tersebut pada nama grupnya. Kelompok Ultras lunak ini cenderung membela manajemen klub dan menyalahkan pemain atau pelatih jika prestasi klub merosot.

Apapun, Ultras lebih daripada sekedar pendukung klub. Ultras adalah jalan hidup,gaya hidup dan mentalitas. Tahun 2009 kelompok Ultras keras dari Lazio, Roma, AC Milan, Catania, Genoa dan Napoli mengadakan demonstrasi besar di kota Roma menentang penindasan atas Ultras dan pembatasan masuk stadion. Mereka mengeluarkan deklarasi bersama. Isi deklarasi ini dapat menggambarkan, bagaimana mentalitas Ultras itu sesungguhnya.

Ultras, a Way of Life:

“Kami berbeda dari yang normal dan biasa. Berbeda dari rata-rata, dari yang umumnya ada. Kehormatan, totalitas, loyalitas dan persahabatan. Ultras adalah tentang nilai-nilai idealisme yang diterapkan sepanjang masa. Ultras bukan tentang yang terbaik atau yang teratas , melainkan tentang mentalitas. Mentalitas yang hanya ada pada Ultras. Mentalitas yang yang lebih kuat dari segala tekanan. Pelarangan masuk stadion dan jeruji penjara, tak ada yang dapat menghentikan kami. Kami Ultras, tindaslah kami, maka bara tekad kami akan semakin besar. Kami memercayai mentalitas Ultras. Sepakbola telah sakit, benar-benar sakit. Semuanya hanya tentang uang, uang dan uang. Sepakbola normal telah diabaikan, stadion tak pernah terisi penuh. Mereka menyalahkan Ultras, tapi kami tahu lebih baik daripada mereka.”

“Kamilah bagian termurni yang bertahan dari sepakbola. Kami mengeluarkan ratusan euro dan menempuh ribuan kilometer ke segenap pelosok Italia untuk mewakili kota kami, warna dan klub kami. Kekerasan bukan lagi yang terpenting, karena kalian akan selalu menemukan kekerasan dimanapun kalian berada, di setiap kebudayaan dan di setiap negara. Mereka mengatakan bahwa Ultras merusak sepakbola. Salah besar! Uang, doping, menyuap pemain dan membayar wasit serta pemain yang digaji tak masuk akal tingginya, itulah yang merusak sepakbola. Kamilah yang selalu meneriakkan dukungan bagi tim kami, setiap hari, setiap minggu. Salju, hujan dan teriknya matahari bukan masalah bagi kami. Kami membenci sistem kalian, kami melawan penindasan kalian, dan akan selalu begitu. Ayah-ayah kami dulu memenuhi Curva, kini kami yang ada di sana, dan kelak putera-putera kami yang akan menggantikan. Kami akan menanamkan kepada mereka nilai-nilai yang kami anut, membuat mereka mengerti tentang mentalitas kami, sehingga mereka akan melalui jalan hidup yang sama dengan kami. Generasi tua hilang, generasi baru muncul, tetapi idealisme Ultras akan tetap sama sepanjang masa.”

Rivalitas dan Konflik Supporter di Indonesia

Rivalitas dan Konflik Supporter di Indonesia


Indonesia merupakan negara besar dan memiliki keanekaragaman budaya di setiap daerahnya, tak terkecuali pula dengan olahraga sepakbola. Sepakbola yang merupakan olahraga terpopuler di dunia, sangat banyak di minati oleh para penduduk Indonesia utamanya penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Indonesia yang merupakan negara besar, memiliki ratusan atau bahkan ribuan klub sepakbola mulai dari tingkatan rendah hingga tingkatan tinggi macam Persipura, Arema, Persija, Persib, dll. Sepakbola Indonesia juga tak lepas dari peran suporter, jika tidak ada suporter yang mendukung tim kesayangannya, mana mungkin kompetisi sepakbola di Indonesia ini menjadi kompetisi yang kompetitif. Aroma persaingan antar suporter pun acapkali mewarnai perjalanan panjang persepakbolaan Indonesia, rivalitas antar suporter hingga menimbulkan konflik antar suporter selalu terjadi di persepakbolaan tanah air kita tercinta.


Berikut akan saya beberkan beberapa rivalitas dan konflik antar kelompok suporter di Indonesia
1. Aremania vs Bonek Mania
Entah kapan konflik dan rivalitas antar suporter yang nota bandnya adalah kota yang saling berdekatan ini mulai muncul, sebelum admin lahirpun rivalitas antar dua kubu suporter ini memang sudah terjadi hingga menyebabkan korban jiwa bagi keduanya. Dari beberapa artikel yang admin baca, rivalitas dan konflik yang terjadi antara Aremania vs Bonek Mania adalah “gengsi daerah”, masing-masing menganggap kotanya lebih kuat dan lebih hebat.
Berbicara masalah persaingan dan rivalitas dua elemen suporter di Jawa Timur ini, maka kita tidak dapat mengesampingkan sejarah dan kultur sosial masyarakat masing-masing kota. Malang yang secara demografis adalah sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, dimana pembangunan-pembangunan yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga zaman Orde Baru membawa kemajuan yang sangat pesat bagi kota ini. Kemajuan yang membuat masyarakatnya merasa mampu untuk menyaingi kota metropolitin sekelas Surabaya. Surabaya yang selalu dianggap ‘number one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat Malang tidak terima dan menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama mereka. Dalam tataran propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota kedua setelah Surabaya. Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat tinggi oleh arek Malang terhadap arek Suroboyo .
Kondisi ‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya begitu panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang selalu berusaha menyaingi suporter asal Surabaya.Jika Bonek Mania dikenal dengan sebutan Bondho duwit, sedangkan Aremania Bondho duit. Adapula jika Bonek Mania menebarkan virus permusuhan, sedangkan Aremania menyebarkan antivirusnya yakni aroma perdamaian.
Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya. Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Begitu pula Aremania, di kala pertandingan kandangnya juga sering menghujat Bonek.Hingga saat ini pun, kata ‘DAMAI’ belum bisa tercapai antar kedua eleme kelompok suporter ini, Mungkin benar kata orang, Aremania dan Bonekmania adalah musuh abadi.
2. Viking dan The Jackmania
Admin sendiri tidak mengetahui dengan jelas, kapan awal perseturuan antar kedua kelompok suporter besar di Indonesia ini saling berkonflik. Menurut artikel yang admin baca, rivalitas keduanya dimulai pada tahun 2000 yang bertepatan dengan berlansungnya Liga Indonesia VI. Saat itu pertandingan antara Persib Bandung vs Persija Jakarta, The Jackmania yang akan mendukung tim pujaannya bertanding di stadion Siliwangi, Bandung menerima perlakuan tidak enak dari oknum bobotoh karena alasan, bobotoh mereka juga diperlakukan dengan tidak simpatik di Jakarta ketika menyaksikan pertandingan Persijatim vs Persib di Lebak Bulus, The Jackmania pun akhirnya tidak bisa masuk ke dalam stadion Siliwangi, Bandung.
Ketika rombongan hendak pulang, tiba2 The Jakmania diserang lagi oleh bobotoh yang masih nunggu di luar stadion. Kondisi ini jelas tidak bisa diterima oleh The Jakmania. Sudah ga bisa masuk masih juga diserang. Akhirnya The Jakmania balas perlakuan mereka (Oknum Bobotoh). Jumlah bobotoh di luar stadion masih ratusan sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan pecahnya kaca2 mobil akibat terkena lemparan dari kedua kubu. Ketika polisi datang, keributan mereda dan the Jakmania mulai beranjak pulang. Sempat pula terjadi bentrok beberapa kali ketika rombongan berpapasan dengan bobotoh yang pulang karena tidak kebagian tiket.
Sejak saat itulah api dendam dan permusuhan terus berkobar di kedua belah pihak. Puncaknya di acara Kuis Siapa Berani di Indosiar. Acara ini diprakarsai oleh Sigit Nugroho wartawan Bola yang terpilih menjadi Ketua Asosiasi Suporter Seluruh Indonesia.
Kebodohan the jak terekspos keseluruh negeri ketika mereka tak berdaya menghadapi Viking dalam kuis Siapa Berani. Kuis yang menguji wawasan dan kemampuan berpikir. Itu merupakan edisi khusus kuis Siapa Berani, edisi supporter sepak bola. Menghadirkan Viking, the jak, Pasoepati (Solo), Aremania, dan ASI (Asosiasi Suporter Indonesia). Pemenangnya, Viking. Perwakilan Viking berhasil melewati babak bonus dan berhak atas uang tunai 10 juta rupiah. Seperti biasanya, rasa iri dari the jak muncul. Malu dikalahkan di kotanya sendiri, ketua the jak saat itu, Ferry Indra Syarif memukul Ali, seorang Viker yang menjadi pemenang kuis. Sungguh perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang ketua. Ketuanya saja begitu, apalagi anak buahnya?
Kejadian itu terjadi di kantin Indosiar, ketika dilangsungkannya acara pemberian hadiah. Kontan keributan sempat terjadi, namun berhasil diatasi. Kesirikan the jak tak sampai disitu. Mereka menghadang rombongan Viking dalam perjalanan pulang menuju Bandung, tepatnya di pintu tol Tomang. Anak-anak Bandung yang berjumlah 60 orang pulang dengan menggunakan dua mobil Mitsubishi Colt milik Indosiar dan satu mobil Dalmas milik kepolisian. Ketiga mobil ini dihadang sebuah Carry abu-abu. Dua lolos, namun nahas bagi salah satu Mitsubishi Colt yang ditumpangi para anggota Viking. Mobil itu terperangkap gerombolan the jak. Kontan, mobil dirusak, Viking disiksa, dan uang para pendukung pangeran biru itu pun dijarah. Termasuk handphone dan dompet mereka. Tercatat sembilan anggota Viking mengalami luka-luka. Tiga diantaranya terluka parah. Namun sayang, pihak kepolisian lamban dalam menyelesaikan kasus ini. Termasuk dalam menangkap the jack yang merampok dan menganiaya anggota Viking Persib Club.
Hingga saat ini perseteruan kedua kelompok supporter itu masih terus berlanjut. Viking, yang memiliki anggota terbanyak di Indonesia, memiliki kreatifitas tinggi, terbukti dengan julukan “Bandung kota mode, musik, dan seniman” (bahkan the jak pun belanja ke Bandung), dengan the jak yang memiliki title kota ibukota. Entah kapan ini berakhir…
Menarik sekali membahas pertemuan Persib dan Persija karena dua klub ini merupakan dua klub legendaris dan memiliki sejarah besar sejak zaman Perserikatan dulu. Aroma klasik dan dendam selalu mewarnai pertandingan ini. Mungkin tensi pertandingan ini setara dengan Inter vs Juventus di Serie-A atau Barcelona vs Real Madrid di La Liga.
3. Benteng Viola vs Benteng Mania
Mungkin dari beberapa rivalitas suporter yang ada di persepakbolaan Indonesia, konflik dan rivalitas antara Benteng Viola vs Benteng Mania adalah paling miris, mengapa admin sebut demikian karena kedua elemen suporter ini sama-sama berasal dari Tanggerang bedanya hanya pada klub yang mereka dukung. Jika Benteng Viola mendukung Persita Tanggerang, sedangkan Benteng Mania mendukung Persikota Tangerang. Disetiap pertangdingan baik Persikota atau Persita, Benteng mania dan Viola Extrim selalu terlibat tawuran disekitar stadion, sehingga membuat arus kendaraan menjadi tersendat dan mengganggu warga sekitar stadion.
4. Persik Mania vs Aremania
Sepakbola di Jawa Timur memang panas, apalagi jika ada pertandingan big match derby jatim pastilah di tunggu-tunggu tuh pertandingan, selain adu gengsi antar klub Jawa Timur, juga pembuktian siapa klub terkuat di Jawa Timur. Selain itu juga rivalitas suporter, dan sekarang saatnya mendalami rivalitas antara kedua elemen suporter yakni Persikmania vs Aremania. Dari informasi yang admin baca, asal mula permusuhan antara Aremania vs Persikmania terjadi setelah manager tim Arema saat itu, Iwan Budianto  melakukan penggembosan habis-habisaan di tim Arema. Saat itu Arema yang bermain di divisi utama yang berjalan kurang dari sebulan, Iwan Budianto melakukan migrasi ke persik dengan  membawa  beberapa pilar penting AREMA ke Persik Kediri yang saat itu berlaga di Divisi I dan bisa membuat Persik Juara Divisi I dan otomatis promosi ke Divisi Utama. Konflik berawal dari pertandingan antara Persik Kediri vs Arema, aremania datang dengan jumlah yang buanyak melebihi batas yang ditentukan panpel, lalu banyak yang masuk stadion Tidak membayar,  Stadion Brawijaya banjir suporter baik dari malang maupun tuan rumah kediri. Singkat cerita PERSIK unggul 1-0 Arema. Hal ini membuat ribuan AREMANIA yang menempati tribun selatan gak terima trus melempari pemain, ternyata lama kelamaan gak hanya pemain yang dilempar tapi kerusuhan menjalar jadi bentok antar suporter AREMANIA VS PERSIK MANIA, hingga banyak jatuh korban dan diteruskan di luar stadion dan sepanjang jalur Kediri – Malang. Sejak kejadian itulah hubungan AREMANIA dan  PERSIK MANIA sedikit memanas, tapi itu durung puncak dari pertikaian kedua kubu tersebut. Tepat pada tanggal 17 Januari 2008 di stadion BRAWIJAYA di gelar babak penyelisihan 8 besar.  Saat itu AREMA Vs PERSIWA bermain di Stadion  BRAWIJAYA, sebelum AREMA bermain AREMANIA sudah  memenuhi TRIBUN timur stadion Brawijaya.
Singkat cerita AREMA kebobolan peng pindi terus pas AREMA iso ngegolne, la kok Goll tersebut dianulir wasit… ngegolne maneh di anulir maneh… wes AREMANIA gak sabar… akhire kesruh luar biasa STADION BRAWIJAYA di bakar oleh AREMANIA

Beberapa jam setelah dibakarnya stadion brawijaya oleh aremania, ribuan persik mania yang tidak terima karena Stadion BRAWIJAYA yang merupakan markas tim Persik Kediri di bakar oleh Aremania, sepanjang perjalanan pulang ke malang AREMANIA terus Mendapat teror dari warga kediri yang jelas banyak benget kerusakan motor mobil,genting,kaca, cendela, dll. Itulah cerita asal muasal AREMANIA  mengapa sangat di  benci  oleh PERSIK MANIA.  Kebencian itu kian subur ketika pertandingan ISL 20 januari 2009 PERSIK harus menjamu AREMA di luar kandang sebab Panpel dan keamanan tidak mau mengambil resiko memasukkan AREMA ke kota kediri. Mereka mengharamkanAREMA dan AREMANIA masuk kediri, sehingga besok tanggal 20 januari 2009 jatah kandang persik berkurang gara2 ulah brutal AREMANIA pada masa lalu.

#DamailahSupporterIndonesiaKu

Barra Brava

Barra Brava


Barra brava adalah nama untuk kelompok pendukung terorganisir dari tim sepak bola di Amerika Latin. Gaya mendukung mereka sangat mirip dengan ultras Eropa. Aksi mereka termasuk berdiri sepanjang pertandingan, bernyanyi dan perilaku antusias lainnya. Beberapa barra bravas telah mengembangkan reputasi mereka sebagai hooligan versi Amerika Latin dan terkait dengan beberapa kelompok hooligan di Eropa. Fenomena ini berasal dari Argentina, Cili dan Uruguay pada 1950-an dan 60-an, tetapi telah menyebar ke seluruh Amerika pada tahun 1990. Di Brazil, kelompok yang sama bernama torcida di Meksiko, istilahnya bisa jadi barras dan porras.

Barras Bravas, demikian julukan bagi organisasi supporter bergaris keras di Amerika Latin. Argentina di samping Chile, Bolivia, dan Peru terkenal sebagai Negara yang memiliki anggota Baras Bravas terbesar di Amerika Latin.

Mereka yang menjadi bagian dari Barras Bravas tidak hanya seenak perut bertelanjang dada di bangku penonton sambil meneriakkan yel-yel bagi tim kesayangannya, tetapi juga tidak jarang berbuat ulah (www.barra-brava.com)

Di Argentina sebagian Barras Bravas yang terkenal brengseknya adalah supporter Indpendiente, Boca Juniors, River Plate dan Estudientes. Mereka tidak hanya menabuh gendang, meniup terompet, menyalakan dan melempar kembang api. Tetapi lebih dari itu mereka berani membuka pakaian seenaknya di tribun penonton  sampai menampakkan pantat-nya.

Jika mau disejajarkan, maka  Barras Bravas bisa disamakan dengan Ultras atau hooligan di Eropa. Fanatisme yang berlebihan pada tim kesayangan membuat  Barras Bravas rela melakukan apa saja demi dan untuk tim-nya. Mereka tidak hanya sekedar fans tetapi sudah melampauinya (ultra). Maka tepat disebut Ultras (Ultra-Fans).

Torcida

Torcida



Dari Kroasia sejarah suporter modern Eropa berasal. Namanya torcida yang bisa diartikan kelompok suporter. Di kemudian hari, istilah ini kalah populer dibanding ultras dan tifosi (keduanya istilah Italia), barrabravas (Argentina), atau firm (Britania) yang memiliki pengertian sejenis. Bila berperilaku negatif, suporter itu disebut hooligan.
 
Klub-klub dan tim nasional negara-negara Eropa memiliki suporter fanatik dengan riwayat panjang, seumuran dengan sejarah sepak bola itu sendiri. Begitu pula dengan kelompok suporter di Kroasia yang telah ada sejak akhir Abad XIX.
Hanya, Eropa mulai mengenal organisasi suporter dengan struktur yang jelas dan berpenampilan menarik di lapangan-–bernyanyi, menari dengan koreografi, dan memiliki komandan lapangan--setelah suporter Hajduk Split, mantan anggota klub Yugoslavia yang kini berada di wilayah Kroasia, mendirikan torcida Split pada awal 1950-an.

Mereka mengadopsi kultur suporter Brasil. Beberapa pemimpin suporter Split terkesan akan kebersamaan dan keindahan gerak suporter tim Samba saat berlangsungnya Piala Dunia 1950 di Brasil. Mereka lantas melakukan hal yang sama sepulang dari turnamen itu. Di Yugoslavia, kultur itu berkembang. Para suporter negara lain kemudian terinspirasi.

Tentu saja, ber-Mexican wave, bernyanyi bareng, dan berteriak bersama tak menghabiskan darah panas orang-orang Balkan. Vandalisme di lapangan masih dilakukan. Torcida juga melahirkan efek buruk. Kelompok suporter yang terorganisasi memudahkan para politikus memanfaatkan mereka. Di Serbia, Presiden Slobodan Milosevic membentuk pasukan paramiliter yang berasal dari suporter garis keras Red Stars Belgrade, bernama delije, saat pecahnya perang saudara di antara negara-negara bekas Yugoslavia

Wednesday, August 7, 2013

Ultras History

Sebelumnya, pendukung suatu klub bersifat individualis, sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil. Mereka mungkin saja patriotis di stadion, tetapi identifikasi dan simbolisasi diri pendukung terhadap klub berhenti begitu laga usai dan lampu stadion dipadamkan. Mereka bersifat anonim dan sama sekali bukan merupakan bagian spiritual dari klub.

Kata Ultras dimaknai sebagai lebih, sangat, luar biasa atau ekstrem. Dalam sepakbola Ultras mengacu kepada kelompok pendukung atau fans yang terorganisasi, memiliki kode berperilaku yang bersifat komunal, cenderung eksklusif serta memiliki identitas yang kuat serta loyalitas tak terbatas kepada tim sepakbola yang didukungnya. Ultras lebih daripada sekedar hadir di stadion dan memberi dukungan, ultras adalah sebuah totalitas mental, sikap dan perbuatan dalam mendukung klub, di dalam dan di luar stadion, saat ada dalam kelompok dan saat sendiri, saat menang dan saat kalah, saat klub di puncak kejayaan dan saat klub di nadir keterpurukan. Maka, empat nilai penting pada Ultras adalah kehormatan, totalitas, loyalitas dan solidaritas.

Cikal Bakal Ultras
Kelompok Ultras pertama di dunia terbentuk justru bukan untuk mendukung sebuah klub, melainkan untuk mendukung tim nasional. Torcida Organizada terbentuk di Brasil tahun 1939 untuk mendukung timnas mereka. Perang Dunia Kedua yang melanda Eropa membuat gagasan Ultras ini sedikit terlambat berkembang ke benua biru. Barulah pada 1950 Ultras pertama Eropa lahir di Yugoslavia, ketika pendukung klub Hajduk Split membentuk Torcida Split.

Hanya butuh waktu satu tahun, gagasan Ultras ini masuk ke Italia. Tahun 1951 lahirlah Ultras pertama di Italia, Fedelissimi Granata yang mendukung klub Torino. Fenomena Ultras ini makin meluas di Italia. Maka bermunculanlah kelompok Ultras seperti Fossa dei Leoni (Milan, 1968), Boys LFN (Internazionale, 1968), Ultras Sampdoria (Sampdoria, 1969) Commandos Monteverde Lazio/CML (Lazio, 1971), Yellow-blue Brigade (Hellas Verona, 1971), Viola Club Viesseux (Fiorentina, 1971), Ultras Napoli (Napoli, 1972), Griffin Den (Genoa, 1973), For Ever Ultras (Bologna, 1975), Black and Blue Brigade (Atalanta, 1976), Fossa dei Campioni dan Panthers (Juventus, 1976), dan Commando Ultra Curva Sud/CUCS (Roma, 1977).

Modus operandi terbentuknya kelompok-kelompok ini beraneka-ragam. Menggabungkan kelompok-kelompok kecil yang sudah ada sebelumnya, dari sosialisasi di cafe atau bar, kelompok di sekolah atau kampus, komunitas suatu area geografis tertentu, partai politik dan sebagainya. Usia mereka saat terbentuknya kelompok ini biasanya berkisar antara 15-25 tahun.

Kelompok-kelompok pertama yang terbentuk di atas biasanya tidak bertahan lama. Kelompok baru dari klub yang sama bermunculan, bersaing dan menyisihkan yang sebelumnya. Atau, beberapa kelompok melakukan merger. Dipenjarakannya tokoh-tokoh suatu kelompok Ultras akibat kerusuhan  juga sering menjadi pemicu bubar. Hal yang paling sering terjadi adalah perpecahan dalam suatu kelompok akibat masuknya kepentingan partai politik yang memanfaatkan kekuatan Ultras, komersialisasi Ultras dalam memproduksi dan menjual merchandise, atau masuknya kelompok “swing ultras” alias para “glory hunters”. Mereka yang disebut terakhir ini adalah pendukung yang berpindah klub seiring naik-turunnya prestasi klub, sehingga melunturkan nilai-nilai Ultras itu sendiri. Fossa dei Leoni hingga kini tercatat sebagai Ultras yang paling lama bertahan (1968-2005).

Regenerasi anggota pada kelompok Ultras biasanya dilakukan secara turun-temurun dalam keluarga, dalam suatu institusi sosial-budaya seperti sekolah, kampus, klub-klub hiburan dan sebagainya. Penanaman nilai-nilai Ultras ini berlangsung sejak usia dini secara alamiah


Independensi
Nilai penting lain yang dianut Ultras adalah independensi. Nilai terakhir ini secara masif diperkenalkan oleh Irriducibili Lazio yang terbentuk tahun 1987. Penerapan independensi membatasi loyalitas Ultras hanya kepada tim atau para pemain, dan mengambil posisi independen terhadap pihak lainnya termasuk partai politik, sponsor dan terutama terhadap manajemen klub.

Setelah hadirnya Irriducibili Lazio, maka Ultras di Italia tersegregasi menjadi Ultras Keras dan Ultras Lunak. Kelompok keras akan menolak bantuan dalam bentuk apapun dari manajemen klub, mereka mandiri secara finansial, mengeluarkan uang pribadi untuk tiket dan biaya perjalanan dari kota ke kota mengikuti para pemain yang bertanding serta untuk memproduksi peraga (tifo) dalam stadion. Tak heran, fans Lazio misalnya, dapat bersikap sangat konfrontatif terhadap manajemen Lazio sendiri demi kepentingan pemain dan tim, yang diyakininya. Kelompok Ultras keras ini bersikap protektif membela pemain dan memprotes kebijakan manajemen klub saat prestasi kub melorot.

Kelompok lunak ini cenderung sejalan dengan manajemen klub dan sangat bergantung pada manajemen klub dalam hal pendanaan untuk keperluan spanduk atau bendera, penyediaan sarana gudang atau sekretariat, diskon tiket dan bahkan penyediaan sarana transportasi. Kelompok Ultras dari Juventus misalnya, sebagian besar terdiri dari keluarga dan kerabat pabrik mobil Fiat dan pemasoknya, mereka dikoordinasi dan dibiayai oleh keluarga besar Agnelli. Sementara kelompok Ultras di Internazionale memiliki hubungan finansial yang erat dengan keluarga besar Moratti. Beberapa kelompok bahkan memakai nama sang taipan minyak Italia tersebut pada nama grupnya. Kelompok Ultras lunak ini cenderung membela manajemen klub dan menyalahkan pemain atau pelatih jika prestasi klub merosot.


Apapun, Ultras lebih daripada sekedar pendukung klub. Ultras adalah jalan hidup, gaya hidup dan mentalitas. Tahun 2009 kelompok Ultras keras dari Lazio, Roma, AC Milan, Catania, Genoa dan Napoli mengadakan demonstrasi besar di kota Roma menentang penindasan atas Ultras dan pembatasan masuk stadion. Mereka mengeluarkan deklarasi bersama. Isi deklarasi ini dapat menggambarkan, bagaimana mentalitas Ultras itu sesungguhnya.

Ultras, a Way of Life:

“Kami berbeda dari yang normal dan biasa. Berbeda dari rata-rata, dari yang umumnya ada. Kehormatan, totalitas, loyalitas dan persahabatan. Ultras adalah tentang nilai-nilai idealisme yang diterapkan sepanjang masa. Ultras bukan tentang yang terbaik atau yang teratas , melainkan tentang mentalitas. Mentalitas yang hanya ada pada Ultras. Mentalitas yang yang lebih kuat dari segala tekanan. Pelarangan masuk stadion dan jeruji penjara, tak ada yang dapat menghentikan kami. Kami Ultras, tindaslah kami, maka bara tekad kami akan semakin besar. Kami memercayai mentalitas Ultras. Sepakbola telah sakit, benar-benar sakit. Semuanya hanya tentang uang, uang dan uang. Sepakbola normal telah diabaikan, stadion tak pernah terisi penuh. Mereka menyalahkan Ultras, tapi kami tahu lebih baik daripada mereka.”

“Kamilah bagian termurni yang bertahan dari sepakbola. Kami mengeluarkan ratusan euro dan menempuh ribuan kilometer ke segenap pelosok Italia untuk mewakili kota kami, warna dan klub kami. Kekerasan bukan lagi yang terpenting, karena kalian akan selalu menemukan kekerasan dimanapun kalian berada, di setiap kebudayaan dan di setiap negara. Mereka mengatakan bahwa Ultras merusak sepakbola. Salah besar! Uang, doping, menyuap pemain dan membayar wasit serta pemain yang digaji tak masuk akal tingginya, itulah yang merusak sepakbola. Kamilah yang selalu meneriakkan dukungan bagi tim kami, setiap hari, setiap minggu. Salju, hujan dan teriknya matahari bukan masalah bagi kami. Kami membenci sistem kalian, kami melawan penindasan kalian, dan akan selalu begitu. Ayah-ayah kami dulu memenuhi Curva, kini kami yang ada di sana, dan kelak putera-putera kami yang akan menggantikan. Kami akan menanamkan kepada mereka nilai-nilai yang kami anut, membuat mereka mengerti tentang mentalitas kami, sehingga mereka akan melalui jalan hidup yang sama dengan kami. Generasi tua hilang, generasi baru muncul, tetapi idealisme Ultras akan tetap sama sepanjang masa.”